Bisnis.com, JAKARTA - Mayoritas mata uang negara berkembang di Asia terdepresiasi terhadap dolar AS akibat pejabat Federal Reserves, Bank Sentral AS, mengurangi harapan pasar adanya kebutuhan untuk melonggarkan kebijakan moneter secara agresif.
Ekonom Senior Emerging Market di SMBC Nikko Securities Tokyo Kota Hirayama mengatakan bahwa penurunan pasar ekuitas telah membebani mata uang Asia pada perdagangan Rabu (26/6/2019) akibat komentar Ketua The Fed Jerome Powell yang dianggap tidak terlalu dovish, tidak sama seperti yang diartikan pasar ketika pertemuan The Fed belum lama ini.
"Sudah saatnya kita melihat beberapa konsolidasi pembalikan arah setelah mata uang kelompok Asia berhasil menguat selama seminggu terakhir menjelang pertemuan G20," ujar Kota Hirayama seperti dikutip dari Bloomberg, Rabu (26/6/2019).
Sepanjang pekan lalu, mayoritas mata uang kelompok Asia bergerak menguat akibat sinyal pemangkasan suku bunga acuan oleh The Fed dalam waktu dekat. Hal tersebut membuat pasar berharap adanya pemangkasan suku bunga acuan hingga 50 basis poin.
Namun, pada pertemuan Dewan Hubungan Luar Negeri di New York Selasa (25/6), Jerome Powell menekankan independensi bank sentral dari Presiden AS Donald Trump yang mendorong adanya penurunan suku bunga secara signifikan sehingga dapat melemahkan dolar AS.
Adapun, Presiden AS Donald Trump sering kali mengkritik Jerome Powell karena menanganggap kebijakan moneter The Fed telah membuat dolar AS diperdagangkan terlalu mahal.
Baca Juga
Akibatnya, sentimen tersebut telah meredam ekspektasi pasar adanya pelonggaran kebijakan moneter yang cukup agresif sehingga membantu dolar AS untuk menguat, lepas dari pergerakan di level terendahnya untuk tahun ini.
Tercatat, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor bergerak menguat 0,12% menjadi 96,252.
Presiden The Fed St. Louis James Bullard juga mengatakan bahwa dirinya tidak berpikir keadaan ekonomi AS cukup parah sehingga memerlukan pemangkasan suku bunga hingga 50 basis poin dalam waktu dekat.
Berdasarkan survei Fedwatch CME Group, peluang pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin pada pertemuan The Fed Juli mendatang telah menurun 33% dari sebelumnya sebesar 38%.
Meski pemangkasan suku bunga acuan hingga 50 basis poin tampaknya tidak akan terjadi pada pertemuan The Fed Juli mendatang, investor tetap berharap adanya pemangkasan suku bunga setidaknya hingga 25 basis poin.
Selain itu, investor juga berharap The Fed dan bank sentral negara lainnya tetap dovish dalam beberapa bulan mendatang mengingat prospek pertumbuhan global yang meredup, yang akan menjadi pendorong utama pergerakan aset berisiko, seperti perdagangan mata uang.
Kota Hirayama mengatakan bahwa prospek mata uang negara berkembang Asia juga akan bergantung pada hasil pembicaraan perdagangan AS-China. Seperti yang diketahui, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan bertemu di sela-sela pertemuan KTT G20 di Jepang pada akhir pekan ini.
"Namun, mata uang Asia juga diharapkan dapat mempertahankan tren bullishnya seiring dengan persepsi bahwa sengketa perdagangan tidak akan meningkat," papar Kota Hirayama.
Ahli Strategi Valas Barclays Shinichiro Kadota juga mengatakan bahwa hasil pertemuan perdagangan AS-China yang menjadi tolak ukur seberapa besar The Fed dapat memangkas suku bunga.
"Saya melihat The Fed masih akan menurunkan suku bunga, tetapi besarannya akan tergantung pada data ekonomi AS dan hasil pertemuan G20," ujar Shiniciro Kadota seperti dikutip dari Reuters, Rabu (26/6/2019).
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (26/6/2019) hingga pukul 15.49 WIB, penurunan mata uang kelompok Asia dipimpin oleh rupiah yang telah melemah 0,37% menjadi Rp14.178 per dolar AS. Kemudian kinerja mata uang terburuk dilanjutkan oleh peso yang terdepresiasi 0,24% dan dolar Taiwan yang melemah 0,18%.
Selanjutnya disusul oleh ringgit yang melemah 0,11% dan yuan renmimbi yang melemah 0,04%. Sementara itu, kinerja penguatan terbaik di kelompok Asia dipimpin oleh baht yang berhasil menguat 0,11% melawan dolar AS.