Bisnis.com, JAKARTA – Rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan dinilai memberikan beragam dampak terhadap kinerja emiten kesehatan Tanah Air, terutama emiten yang bergerak di industri rumah sakit dan farmasi.
Investment Analyst Infovesta Utama Ekky Topan menilai kenaikan iuran BPJS yang akan dilakukan pemerintah secara bertahap, berpotensi menekan akses layanan kesehatan bagi pasien dengan pendapatan yang lebih rendah. Dengan begitu, margin EBITDA emiten rumah sakit berpotensi tertekan dengan menurunnya volume pasien pengguna BPJS.
Adapun melansir laporan keuangan, sejumlah emiten rumah sakit memiliki eksposur yang cukup besar terhadap piutang dari BPJS. PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk. (MIKA), misalnya, mencatatkan piutang usaha dari BPJS sebesar Rp136,88 miliar pada Juni 2025. Angka itu mencerminkan 3,54% dari total aset lancar MIKA sebesar Rp3,86 triliun.
Selain MIKA, PT Medikaloka Hermina Tbk. (HEAL) juga mencatatkan piutang usaha dari BPJS senilai Rp665,73 miliar pada Juni 2025. Dibandingkan aset lancar HEAL senilai Rp2,89 triliun, piutang usaha dari BPJS mencapai 23,02% dari total aset lancar perseroan.
Menurut Ekky, dampak dari rencana ini tidak hanya terjadi kepada emiten rumah sakit, tetapi juga terhadap emiten farmasi. Hal ini dinilai berpotensi mengurangi tingkat penjualan karena berpindahnya pasien ke obat alternatif yang lebih murah. Bahkan, mampu menambah beban terhadap program obat gratis pemerintah.
“Kondisi tersebut pada akhirnya berisiko mengurangi margin profit bagi emiten farmasi,” katanya ketika dihubungi, Kamis (21/8/2025).
Meskipun begitu, Ekky menilai bahwa alokasi anggaran dalam RAPBN 2026 terhadap Kementerian Kesehatan sebesar Rp114 triliun, berpotensi memberikan sentimen positif jangka panjang terhadap emiten-emiten kesehatan.
Anggaran tersebut dinilai mampu mendukung stabilitas dan pertumbuhan di sektor kesehatan swasta. Terlebih lagi, anggaran Kemenkes juga mengalokasikan sebagian dana untuk BPJS Kesehatan.
Dengan karakter defensifnya, Ekky menilai bahwa sektor kesehatan masih menawarkan prospek yang cukup menarik ke depannya.
“Meski begitu, tantangan tetap ada, mulai dari kebutuhan efisiensi operasional, ketergantungan pada bahan baku impor farmasi, hingga tekanan biaya logistik,” katanya.
Ekky merekomendasikan saham MIKA dengan target harga Rp2.900–Rp3.000, yang dinilai tengah berada di area support yang menarik. Sementara itu, HEAL direkomendasikan hold dengan target jangka pendek di Rp1.825 per lembar dan target jangka menengah Rp2.000 per lembar.
Sebaliknya, VP Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi menilai bahwa penyesuaian tarif layanan BPJS, memiliki tujuan untuk menambah ruang fiskal Dana Jaminan Sosial (DJS), sehingga memperkecil risiko defisit dan mempercepat pembayaran klaim.
Menurutnya, tanpa penyesuaian iuran BPJS, tekanan fiskal Dana Jaminan Sosial akan mendorong utilization control dari BPJS dan potensi penundaan pembayaran ke rumah sakit.
“Kami melihat hal ini akan mendukung traffic pasien JKN dan ketepatan bayar ke fasilitas kesehatan. Ini akan menjadi tailwind jangka panjang, terutama pada jaringan yang scalable di segmen JKN seperti HEAL,” katanya ketika dihubungi, Kamis (21/8/2025).
Menurutnya, kenaikan iuran ini mampu mendorong perbaikan cash conversion dan menjaga margin HEAL ke depannya. Pasalnya, HEAL memiliki eksposur yang cukup besar terhadap BPJS.
Audi merekomendasikan saham MIKA, HEAL, dan SILO, dengan target harga masing-masing Rp2.600, Rp1.730, dan Rp2.510 per lembar.
“Sedangkan dengan eksposur yang rendah seperti MIKA dan SILO yang lebih private heavy dapat menambah porsi asuransi komersial dan penjualan layanan insentif,” tambahnya.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.