Bisnis.com, JAKARTA — Mata uang emerging market bergerak variatif seiring dengan investor cenderung bergerak menghindar untuk mengambil risiko menjelang pertemuan kebijakan Bank Sentral Eropa dan pemangkasan prospek pertumbuhan ekonomi oleh IMF.
Berdasarka data Bloomberg, pada perdagangan Rabu (10/4/2019) pukul 18.16 WIB, kinerja penguatan mata uang emerging market dipimpin oleh rand Afrika Selatan yang menguat 0,86%. Kemudian, mata uang Thailand berhasil menguat tipis 0,47% dan rupiah melemah 0,141%.
China renmimbi dan ringgit juga melemah melawan dolar AS, yaitu menurun 0,088% dan 0,353%.
Currency Strategist Nomura Holdings Inc di Singapura Dushyant Padmanabhan mengatakan bahwa pergerakan dalam mata uang mayoritas melemah melawan dolar AS karena investor mempertimbangkan risiko dari pertumbuhan global yang lebih lemah di tengah sikap dovish oleh mayoritas banks sentral.
"Untuk forex kami masih konstruktif, indeks dolar AS telah melemah dari level puncaknya, imbal hasil global masih relatif melemah, dan kami tidak melihat aksi jual yang sangat besar dalam pasar ekuitas. Secara keseluruhan bagus untuk forex emerging market Asia," ujar Dushyant seperti dikutip dari Reuters, Rabu (10/4/2019).
Adapun, International Monetary Fund (IMF) kembali memangkas proyeksi pertumbuhan global pada Selasa (9/4/2019). Hal terseubt adalah ketiga kalinya IMF menurunkan proyeksinya dalam kurun waktu 6 bulan terakhir.
IMF telah memangkas prospek pertumbuhan global sepanjang tahun ini menjadi hanya 3,3% dari proyeksi sebelumnya sebesar 3,5%. Proyeksi pertumbuhan global saat ini menjadi level terendah pertumbuhan global sejak krisis keuangan.
Sementara untuk pertumbuhan negara emerging market dan developing economies, IMF mematok pertumbuhan untuk 2019 yang lebih rendah yaitu sebesar 4,4% dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya sebesar 4,9%.
Proyeksi pertumbuhan yang kurang baik akan berdampak pada minat investor yang akan cenderung memilih aset investasi aman dibandingkan dengan aset berisiko seperti mata uang emerging market.