Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dua Sektor Ini Jadi Favorit Manajer Investasi dalam Meracik Reksa Dana

Sektor perbankan dan sektor barang konsumen menjadi favorit bagi sejumlah perusahaan aset manajemen untuk diracik ke dalam underlying asset produk reksa dananya pada 2019.
Pekerja melintas di depan layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jum'at (22/2/2019)./ANTARA-Indrianto Eko Suwarso
Pekerja melintas di depan layar pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jum'at (22/2/2019)./ANTARA-Indrianto Eko Suwarso

Bisnis.com, JAKARTA — Sektor perbankan dan sektor barang konsumen menjadi favorit bagi sejumlah perusahaan aset manajemen untuk diracik ke dalam underlying asset produk reksa dananya pada 2019.

Setidaknya, manajer investasi seperti Schroders Indonesia, Pinnacle Investment, dan Avrist Asset Management mengungkapkan hal serupa. 

Bonny Iriawan, Executive Vice President Intermediary Business Schroders Indonesia, menyampaikan bahwa racikan utama untuk underlying asset produk reksa dana milik Schroders Indonesia pada tahun ini berasal dari emiten-emiten sektor konsumer dan perbankan. Bonny menjelaskan, kedua sektor tersebut lebih dipertimbangkan mengingat lebih dari 55% pendorong pertumbuhan PDB berasal dari sektor konsumer. 

Sementara itu, sektor perbankan dipilih karena masih menjadi urat nadi perekonomian dengan bobot di dalam indeks harga saham gabungan (IHSG) yang juga besar. “Utamanya [sektor] konsumer dan beberapa sektor perbankan terpilih,” kata Bonny ketika dihubungi Bisnis.com, pekan lalu.

Begitu pula, Presiden Direktur PT Pinnacle Persada Investama Guntur Putra menyampaikan bahwa perusahaannya masih mengisi mayoritas underlying asset untuk produk reksa dana dari sisi saham atau ekuitas. Pasalnya, sebagian besar dana kelolaan (asset under management/AUM) dari Pinnacle memiliki porsi yang besar di ETF dan reksa dana berbasis saham.

Adapun saham-saham yang dipilih untuk dijadikan underlying asset dalam produk reksa dana Pinnacle memang tidak berdasarkan sektornya, melainkan dari sisi faktor secara historis. “Kami melihat secara pengukuran historis, faktor yang terbukti memberikan Alpha di pasar Indonesia,” ujarnya.

Faktor-faktor tersebut diukur berdasarkan nilai, momentum, volatilitas, dan kualitas dari suatu saham. Pasalnya, Guntur menambahkan, Pinnacle sebagai manajer investasi lebih mengutamakan penyusunan portofolio yang efektif dan optimal dari segi kinerja dan resiko.

Lebih lanjut, kata Guntur, saat ini bobot portofolio yang dipilih condong lebih berat dari sisi pengukuran nilai dan momentum. “Tapi kalau dilihat dari kacamata sektor, kebetulan pengukuran kami ada di perbankan dan konsumer,” tuturnya.

Dalam kesempatan terpisah, Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich menyampaikan bahwa dirinya juga masih menjadikan sektor perbankan, barang konsuer, dan beberapa nama ritel sebagai favorit pada tahun ini. “Kalau kami memang secara strategi akan sedikit mirip dengan komposisi di indeks. Jadi, perbankan tetap paling besar, terus juga ada consumer goods juga besar, kemudian sisanya tersebar di sektor lain,” ujarnya.

Menurutnya sektor ritel dan konsumsi menjadi menarik karena harga komoditas pada tahun ini diperkirakan lebih stabil. Pada 2018, harga komditas yang tinggi telah menyebabkan biaya impor dari emiten pertiel dan konsumer membengkak, sehingga tahun ini seharunya secara marjin ada kesempatan untuk lebih baik.

Selain sektor tersebut, dia juga menyampaikan beberapa emiten peritel, tambang, dan otomotif juga menarik pada tahun ini. Beberapa saham di sektor tambang diakui memang sempat koreksi, namun untuk beberapa nama masih bagus untuk jangka panjang.

OPTIMISME IHSG

Mengenai pergerakan IHSG pada tahun ini, Bonny dan Guntur sepakat prospek pergerakan indeks dapat lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.

Bonny Iriawan, Executive Vice President Intermediary Business Schroders Indonesia, memperkirakan pergerakan IHSG dapat membaik hingga akhir tahun. Namun demikian, tekanan dari kondisi pasar global tetap dapat membuat pergerakan indeks menjadi volatil.

Dirinya menjelaskan, pertumbuhan ekonomi dunia yang diperkirakan lebih lambat pada 2019 dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi kekhawatiran utama di tengah positifnya nada perundingan perdagangan antara Amerika Serikat—China dan berkurangnya agresivitas Bank Sentral AS (Federal Reserve) dalam menaikkan suku bunga.

“Meski perundingan dagang AS—China bernada positif, tetapi investor tetap menunggu hasil pertemuan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping di resor milik Trump di AS [nanti],” lanjut Bonny.

Adapun, dari dalam negeri, kondisi fiskal Indonesia dinilai telah semakin membaik. Namun demikian, masalah defisit neraca berjalan dan defisit perdanganan masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

Di sisi lain, Presiden Direktur PT Pinnacle Persada Investama Guntur Putra yakin pergerakan indeks masih menjanjikan hingga April—Mei. Namun demikian, setelah April perlu dicermati lagi kondisi pasar yang terus volatil. “Harus kita cermati pula apakah earning quality dari kuartal I/2019 bisa tercapai dengan baik,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Dwi Nicken Tari
Editor : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper