Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Kurang Hoki Sepanjang 2018, BI Yakin 2019 Lebih Stabil

Tahun 2018 bisa dibilang kurang membawa hoki bagi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Terpaan angin global datang silih berganti menyeret kinerja rupiah sepanjang tahun ini.
Karyawan menghitung uang rupiah di sebuah money changer di Jakarta, Selasa (4/9/2018)./Reuters-Willy Kurniawan
Karyawan menghitung uang rupiah di sebuah money changer di Jakarta, Selasa (4/9/2018)./Reuters-Willy Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA – Tahun 2018 bisa dibilang kurang membawa hoki bagi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Terpaan angin global datang silih berganti menyeret kinerja rupiah sepanjang tahun ini.

Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Jumat (14/12/2018), nilai tukar rupiah melemah 84 poin atau 0,58% dan ditutup di level Rp14.581 per dolar AS di pasar spot.

Rupiah melemah lagi setelah berhasil membukukan apresiasi sebesar 111 poin selama dua hari beruntun sebelumnya. Alhasil, pelemahan nilai tukar rupiah pada perdagangan Jumat menghapus sebagian besar penguatan tersebut.

Dengan demikian, nilai tukar rupiah telah melemah sekitar 7,57% sepanjang tahun ini (year-to-date) terhadap dolar AS hingga akhir perdagangan 14 Desember. Bandingkan dengan raihan pada periode yang sama tahun lalu ketika nilai tukar rupiah tercatat ‘hanya’ melemah 0,76% terhadap dolar AS.

Menurut Staf Ahli Menteri Koordinator Bidang Perekonomian serta Tim Asistensi (Policy Advisory) dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Lin Che Wei, pelemahan mata uang rupiah hampir sepanjang 2018 salah satunya disebabkan defisit transaksi berjalan yang membengkak.

Padahal, rupiah mampu mengawali tahun 2018 di pijakan yang kuat dengan mengakhiri perdagangan 2 Januari di level Rp13.514 per dolar AS. Rupiah bahkan mencapai level Rp13.289 per dolar AS pada 25 Januari di pasar spot, level penutupan terkuatnya sepanjang tahun ini.

Penguatan rupiah saat itu didukung pelemahan dolar AS yang terbebani pernyataan Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Steven Mnuchin, di depan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengenai hal positif dari pelemahan kinerja dolar AS terkait dengan perdagangan dan peluang.

Nilai tukar rupiah kemudian terpantau cenderung bergerak stabil di kisaran level Rp13.000 per dolar AS sampai dengan pertengahan April. Namun sinyal-sinyal waspada akan pelemahan yang lebih dalam terlihat ketika rupiah kian mendekati level Rp14.000 per dolar.

Rupiah pun akhirnya menembus level tersebut dengan menutup perdagangan 7 Mei di Rp14.001 per dolar AS, level terendah sejak Desember 2015, saat dolar AS bergerak pada kisaran level tertingginya dalam empat bulan dan harga minyak acuan naik menembus level US$70 per barel.

Rupiah Kurang Hoki Sepanjang 2018, BI Yakin 2019 Lebih Stabil

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 16-17 Mei 2018 akhirnya memutuskan menaikkan suku bunga acuannya, BI 7-Day Reverse Repo Rate (DRRR), sebesar 25 basis poin menjadi 4,50%.

Naiknya suku bunga acuan tersebut dilakukan untuk merespons kondisi nilai tukar rupiah yang terus terdepresiasi serta menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan di tengah ketidakpastian pasar dunia dan penurunan likuditas global

Namun, situasi atau nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat tak banyak berubah pascapenaikan tersebut. Rupiah bahkan menembus level Rp14.200 per dolar AS pada perdagangan 21 Mei.

Harapan pasar finansial di dalam negeri membuncah ketika sosok Perry Warjiyo disumpah sebagai Gubernur baru BI pada 24 Mei menggantikan Agus Martowardojo. Perry diharapkan mampu mengambil kebijakan jitu guna mengatasi kondisi pelemahan rupiah.

Tak mau pasar menunggu, enam hari setelah dilantik, Perry memutuskan untuk menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulanan tambahan pada 30 Mei. Dalam rapatnya ini, BI lebih lanjut menaikkan BI 7DRRR sebesar 25 basis poin (bps) menjadi level 4,75%.

Kemudian dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) yang berakhir pada 29 Juni 2018, BI tak tanggung-tanggung menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps menjadi 5,25%, penaikan kali ketiga demi stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Keputusan ini diungkapkan merupakan langkah lanjutan otoritas untuk menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perkembangan kebijakan moneter sejumlah negara dan ketidakpastian pasar global yang masih tinggi.

Pada 13 Juni, bank sentral AS Federal Reserve menaikkan Fed Funds Rate (FFR) sebesar 25 basis poin menjadi 1,75%-2,00% dalam rapat Federal Open Market Committee (FOMC), kenaikan kedua pada 2018.

Selain pengetatan suku bunga AS yang lebih agresif, pelemahan rupiah dinilai terdampak tensi perang dagang AS-China yang semakin mempertajam ketidakpastian global. Akibatnya, mata uang global mengalami pelemahan dan menyebabkan pembalikan arus modal dari negara berkembang.

Sementara itu, kenaikan harga minyak mentah yang tetap terjaga menjadi kabar buruk lain bagi rupiah karena berdampak pada devisa impor migas yang terkait dengan defisit transaksi berjalan.

Dalam rapatnya pada 14-15 Agustus 2018, BI kembali menaikan suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi level 5,50%. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman.

Terlepas dari segala amunisi yang ditembakkan oleh BI, termasuk melakukan intervensi di pasar finansial, tekanan faktor eksternal terhadap mata uang emerging market, di antaranya datang dari krisis di Turki, bertubi-tubi menyeret rupiah hingga mendekati level 15.000 per dolar AS.

RDG BI pada 26-27 September 2018 pun memutuskan untuk menaikkan BI 7DRRR sebesar 25 bps menjadi level 5,75%. Dengan demikian, BI telah menaikkan suku bunga acuannya untuk kelima kalinya sejak Mei seiring dengan upaya intensifnya untuk menjaga nilai tukar rupiah dari dampak pergolakan pada emerging market.

Sebelumnya, pada pertemuan kebijakan moneter yang berakhir 26 September, para pembuat kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve mengerek suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) ke kisaran 2%-2,25%.

Namun rupiah tampak tetap tak berdaya mengadang tekanan global dan keperkasaan dolar AS hingga akhirnya menjebol level Rp15.000 per dolar AS. Rupiah terpantau betah tinggal di kisaran level ini bahkan menyentuh level Rp15.238 per dolar AS pada 9 Oktober di pasar spot, level penutupan terlemah sepanjang tahun ini, berdasarkan data Bloomberg.

Sentimen pada rupiah sebagai aset kian memburuk karena CAD (current account deficit) Indonesia yang terus melebar membuat Indonesia dinilai lebih rentan pada kekacauan finansial global seperti yang sebelumnya sudah terjadi di Turki dan Argentina.

Defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal III/2018 tercatat meningkat hingga 3,37% terhadap PDB atau senilai US$8,8 miliar, karena terjadi defisit untuk transaksi minyak. Defisit ini melebar dari defisit kuartal II/2018 sebelumnya sebesar US$8,0 miliar atau 3,02% terhadap PDB. 

Namun pada 2 November, rupiah mulai bangkit dan meninggalkan level Rp15.000 per dolar AS. Instrumen lindung nilai baru, Domestic Non Deliverable Forward (DNDF), dinilai ampuh mendorong sentimen postif terhadap nilai tukar rupiah.

Gubernur BI Perry Warjiyo menuturkan sejak diluncurkan pada 1 November 2018 lalu, perbankan dan korporasi sangat aktif melakukan transaksi di pasar valas dengan instrumen DNDF. Dengan adanya instrumen baru ini, pengusaha dan investor dapat memenuhi kebutuhan valas melalui berbagai pilihan, seperti spot, swap dan DNDF.

Didukung spekulasi mengenai laju pengetatan suku bunga yang lebih lambat oleh bank sentral AS The Federal Reserve, nilai tukar rupiah seterusnya mampu bergerak lebih stabil terhadap dolar AS. Kemudian pada 14-15 November, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin menjadi 6%. 

Rupiah pun menorehkan kenaikan bulanan terbaiknya sejak Oktober 2015 terhadap dolar AS. Sepanjang November rupiah telah menguat hingga 6,3%. Penguatan ini juga didukung melorotnya harga minyak mentah sebesar sekitar 20% akibat membanjirnya pasokan dan kekhawatiran prospek permintaan.

Penurunan harga minyak pula yang mampu mendukung rupiah mengangkat derajatnya tak hanya di hadapan dolar AS tetapi juga di antara mata uang lainnya di Asia pada pertengahan pekan ini (12-13 Desember).

Kombinasi terpacunya minat investor terhadap aset-aset berisiko juga didorong situasi global yang lebih kondusif, di antaranya akibat harapan membaiknya hubungan AS-China dan perkembangan Brexit.

Namun setelah mampu membukukan penguatan cukup dalam, nilai tukar rupiah kembali tunduk di hadapan dolar AS pada Jumat (14/12). Dolar AS mendapat dorongan dari melemahnya euro setelah ekonomi zona euro menunjukkan lebih banyak tanda-tanda pelemahan, selain didorong oleh kekhawatiran pada perlambatan ekonomi China.

Fokus pasar selanjutnya akan tertuju pada pertemuan Federal Reserve pada 18-19 Desember mendatang demi mendapatkan petunjuk arah kenaikan suku bunga di masa mendatang. Dalam pertemuan tersebut, The Fed diantisipasi akan kembali menaikkan suku bunganya, kenaikan terakhir tahun ini.

Ada banyak spekulasi yang berkembang mengenai titik balik dalam kebijakan moneter The Fed di masa mendatang, apalagi setelah sejumlah pembuat kebijakan terkesan hati-hati tentang prospek ekonomi AS.

The Fed dinilai akan berhati-hati untuk terus menaikkan suku bunga pada tahun depan. Prospek perlambatan pertumbuhan ekonomi global, berkurangnya manfaat stimulus fiskal di AS, dan volatilitas pasar keuangan akan menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan setelah menaikkan suku bunga pada bulan depan ke wilayah netral, atau mendekati netral.

“Ada banyak ketidaksepakatan di pasar selama laju kenaikan suku bunga Fed pada 2019 dengan pelaku pasar memperkirakan kenaikan antara satu hingga empat kali,” kata Michael McCarthy, analis di CMC Markets.

Sementara itu, Bank Indonesia memperkirakan pergerakan rupiah sepanjang tahun depan bakal relatif stabil. Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menuturkan hal itu dipicu oleh perdagangan rupiah yang bergerak sesuai mekanisme pasar dan didorong oleh turunnya defisit transaksi berjalan. 

"Depresiasi nilai tukar relatif terjaga dan rupiah akan bergerak stabil," tutur Perry.

Tahun depan, Perry menegaskan, Bank Indonesia akan tetap mengedepankan mandatnya untuk menjaga inflasi sesuai sasaran dan stabilisasi nilai tukar. Selain itu, BI akan memastikan cadangan devisa tetap cukup untuk melakukan intervensi dalam menjaga stabilisasi nilai tukar. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Fajar Sidik
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper