Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak kelapa sawit kembali menghijau setelah sempat menyentuh level terendahnya. Kenaikan harga dipicu oleh tambahan permintaan setelah pajak ekspor nol dan efek dari perang dagang antara Amerika Serikat dengan China.
Direktur PT Garuda Berjangka Ibrahim menuturkan bahwa kenaikan harga minyak kelapa sawit (crude palm oil/ CPO) saat ini dipicu oleh kenaikan tensi perang dagang yang melemahkan dolar AS dan mempengaruhi seluruh harga komoditas.
“Pertemuan antara pihak AS dan Uni Eropa tadi malam sudah menelurkan solusi yang cukup bagus dengan memutuskan untuk tidak melanjutkan perang tarif membuat pelaku pasar memberikan sentimen positif dan melemahkan dolar AS,” kata Ibrahim ketika dihubungi oleh Bisnis, Kamis (26/7/2018). Ibrahim menilai bahwa pelemahan dolar AS sejalan dengan penguatan harga CPO.
Penyebab lainnya yang melemahkan dolar AS adalah karena China yang kembali mengeluarkan stimulus pada Agustus mendatang. Dengan meningkatkan cadangan rasionya hingga 50 basis poin pada awal Juni lalu, ditambah dengan ekspektasi peluncuran stimulus, membuat tenaga dolar AS semakin lemah.
Dari sisi internal, ekspor CPO Indonesia yang tidak dikenakan pajak telah membuka kesempatan bagi investor dari negara lain seperti China, India, dan Eropa Timur untuk melakukan impor besar-besaran komoditas CPO dari Indonesia dan Malaysia.
“Di luar negeri kan pajaknya 5%. Ini jadi kesempatan Indonesia untuk melakukan ekspor besar-besaran,” lanjut Ibrahim. Ada perang dagang juga membuat impor minyak nabati dari AS dan negara lain lebih mahal karena terkena tarif 25% membuat pasar China terjun ke Indonesia,” lanjutnya.
Baca Juga
Pada penutupan perdagangan Kamis (26/7), harga CPO di Bursa Malaysia Derivatif (MDX) bertengger di posisi 2.191 ringgit per ton, naik 28 poin atau 1,29% dari penutupan sesi perdagangan sebelumnya. Harga tersebut mencatatkan penurunan sebear 12,52% selama tahun berjalan.
Ibrahim menilai harga tersebut masih cukup rendah sehingga wajar apabila pasar China mulai mendorong impornya ke Indonesia dan Malaysia, ditambah juga dengan pajak nol dari Indonesia.
Terkait dengan persediaan di Indonesia yang diprediksi mengalami penurunan, Ibrahim menegaskan bahwa hal tersebut cukup bagus. Sebelumnya pada momen Idulfitri, persediaan CPO di Indonesia melonjak, tetapi tidak ada pasar yang menyerap karena India sudah menimbun pasokan CPO lebih dulu.
Secara jangka panjang, Direktur PT Garuda Berjangka itu memproyeksikan kemungkinan besar produksi Indonesia bisa meningkat pada akhir tahun hingga mencapai 15%. Produksi CPO Indonesia dan Malaysia bisa mengalami lonjakan karena ada Natal, Tahun Baru, dan musim dingin.
“Produksi dari Indonesia bisa naik hingga 15% pada Desember nanti karena Natal, Tahun Baru, dan musim dingin di China dan Eropa Utara. Kenaikkannya bisa mencapai sekitar 2,5% dari Desember tahun sebelumnya,” katanya.
Ibrahim memproyeksikan harga CPO akan bergerak pada posisi 2.153 ringgit per ton – 2.220 ringgit per ton, jika ketidak pastian perang dagang terus berlangsung. Apabila ada kenaikan produksi atau permintaannya berkurang, harga CPO bisa bergerak di posisi 2.080 ringgit per ton – 2.290 ringgit per ton.