Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah kalangan pelaku bisnis gula dunia berkumpul untuk membahas penguatan harga komoditas pangan tersebut khususnya di pasar berjangka.
Lebih dari 500 pedagang, petani, pialang, pengolah, pengekspor, dan pengelola dana merapat ke New York untuk mengikuti Pekan Gula sebagai upaya dalam memecahkan masalah terkait kesulitan mendapatkan potensi bullish perdagangan gula.
Pekan Gula internasional itu berlangsung pada 7–9 Mei itu, salah satu hasilnya adalah mengungkapkan bahwa pasar akan kembali mengalami surplus pasokan. Adanya kelebihan pasokan selama 2 tahun disinyalir mendorong overhang terbesar pada pasar komoditas pertanian ini.
Direktur Eksekutif Organisasi Gula Internasional (ISO) Jose Orive menegaskan sekaligus memberikan peringatan kepada pasar bahwa permintaan gula global menurun dengan data bahwa pasokan gula sudah menumpuk.
Pertumbuhan konsumsi gula pada tahun ini berada di titik paling lambat sejak 2000. Menurut Orive, perlambatan itu semakin mendorong kelebihan pasokan gula global.
Paparan ISO mengungkapkan bahwa perubahan gaya hidup menyumbang kontribusi terbesar dalam pelemahan permintaan gula ketika konsumen beralih mengurangi konsumsi gula.
Pada dua pekan terakhir April, produksi gula dari wilayah Brasil pusat hingga kawasan selatan mengalami lonjakan hingga 35% dari tahun lalu. “Tidak masalah seberapa besar atau kecil surplusnya, surplus tetaplah surplus dan harganya tidak akan pernah bullish lagi,” ujar Orive.
Data Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas (CFTC) menunjukkan pada pekan yang berakhir 8 Mei ada penurunan harga untuk jangka pendek hingga 3% di bawah level rekor yang dicapai pada 1 Mei lalu.
“Kemungkinan untuk mencapai harga satu digit cukup besar,” Claudiu Covrig, analis Platts Kingsman di Swiss, dikutip dari Bloomberg, Minggu (13/5). Penurunan harga paling tajam akan dipengaruhi oleh outlook cuaca di Afrika Selatan dan laju pertumbuhan ekspor di India.
Data juga mengungkapkan bahwa laju pertumbuhan konsumsi yang melambat dan panen yang berlebih secara global kemungkinan mendorong harga gula menuju satu digit. Berdasarkan data Bloomberg, perdagangan berjangka gula anjlok hampir 26% sepanjang tahun berjalan, penurunan terbesar di antara 43 komoditas lain.
Pada penutupan perdagangan ICE Futures, Jumat (11/5) gula berjangka mengalami penurunan 0,05 poin atau 0,44% dari penutupan perdagangan Kamis (10/5) menjadi US$11,22 sen per pound.
Sebelumnya, harga gula pernah mencapai level terendahnya dengan harga US$10,93 sen per pound pada April lalu, terendah sejak September 2015.
“Setelah pertanian tebu di Brasil mengalami kekeringan, pertanian tersebut diperkirakan akan kembali bangkit didukung musim hujan yang diperkirakan pada pertengahan Mei,” ucap Graziella Goncalves, ahli meteorologi Somar Meteorologia di Sao Paulo.
Laporan perusahaan solusi pemasaran, Unica, mengungkapkan bahwa meskipun jatuhnya harga gula saat ini sulit diperbaiki, setidaknya sudah ada antisipasi dengan membatasi produksi untuk menekan kerugian lebih jauh. Brasil saat ini tercatat sebagai salah satu negara penghasil tebu terbesar di dunia.
Menurut Rodrigo Ostanello, Manajer ED&F Man, perusahaan trading gula di Brasil mengungkapkan, banjir pasokan gula global menjadi penyebab utama penurunan outlook harga di pasar global.
Namun, kondisi pasar diuntungkan oleh kondisi kekeringan di Brasil yang terjadi berkepanjangan. Kekeringan itu telah mengurangi produksi gula di Brasil yang juga membantu mengurangi pertambahan pasokan global.
“Kelompok tani itu kemungkinan akan menaikkan perkiraan pasokan global yang menggantung [overhang], karena sepertinya pertanian di India menunjukkan indikasi akan berjumlah melebihi ramalan.”
Produksi di India dan Thailand mencapai rekor yang dapat menyebabkan pasokan gula melimpah. Hedge Funds saat ini telah bersiap apabila di kemudian hari mengalami penurunan harga lebih jauh lagi, dan meramalkan harga akan terus turun hingga lima bulan berturut-turut.