Bisnis.com, JAKARTA — Setelah pelemahan IHSG terus berlanjut pada Maret 2018, kinerja indeks saham IDX Small Medium Cap Composite masih konsisten bertahan di zona hijau, menunjukkan emiten-emiten berkapitalisasi pasar kecil-menengah menjadi sasaran peralihan investasi investor.
IDX SMC Composite mewakili 313 emiten berkapitalisasi pasar kecil hingga menengah di pasar, yakni antara Rp1 triliun hingga Rp50 triliun. Indeks ini masih tumbuh 4,79% ytd hingga perdagangan hari terakhir pekan lalu.
Sementara itu, IDX SMC Likuid yang merupakan indeks atas 50 saham pilihan paling likuid di antara IDX SMC Composite masih tumbuh 1,12% ytd.
Kinerja kedua indeks ini mengungguli IHSG yang pada akhir pekan lalu ditutup pada level 6188,987, turun 262% ytd. Tergerusnya kinerja IHGS tidak terlepas dari turunnya harga saham-saham emiten lapis pertama berkapitalisa pasar jumbo.
Selain IHSG, indeks-indeks lain yang banyak menampung saham-saham blue chip ini juga turun tajam. Indeks LQ45 turun 6,83%%, sedangkan indeks IDX30 turun 7,47%.
Beberapa emiten besar memang mengalami pelemahan pada 2 bulan terakhir. Beberapa di antaranya yakni PT HM Sampoerna Tbk. turun 15,86%, PT Unilever Indonesia Tbk turun 11,4%, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. turun 18,92%, PT Astra International Tbk. turun 12,05%, PT Gudang Garam Tbk. turun 13,51%, dan PT United Tractor Tbk. turun turun 9,6%.
Baca Juga
Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Capital, mengatakan bahwa ketika indeks global bergejolak, saham-saham big cap yang harganya sudah meningkat tajam sepanjang 2017 menjadi pilihan utama investor untuk dilepas, sekaligus memanfaatkan momentum profit taking.
Saham lapis kedua dan ketiga mulai diincar investor ketika optimism terhadap kinerja ekonomi 2018 memuncak pada akhir 2017 lalu, sementara indeks terus bergerak ke arah rekor baru. Sekarang, setelah sentimen negatif global meningkat dan proyeksi kinerja ekonomi nasional kuartal pertama tidak terlalu tinggi, investor cenderung masih tetap mengincar saham-saham lapis kedua dan ketiga sebab ruang pertumbuhan harganya masih lebih lebar dibandingkan blue chip.
“Pasar melihat, meskipun angka pertumbuhan ekonomi 5,3%-5,4% sulit tercapai, tetapi ekspektasi pertumbuhan fundamental emiten-emiten second liner dan third liner di industri batubara, misalnya, masih tinggi tahun ini. Itu lah sebabnya kinerja second and third liner ini masih tinggi,” katanya pekan lalu.
Memang, di antara indeks-indeks sektoral lainnya, kinerja indeks sektor tambang adalah yang tertinggi, dengan 16,22% ytd. Selanjutnya disusul industri dasar dan kimia 8,64% ytd serta agrikultur 6,42% ytd.
Alfred mengatakan, secara fundamental, saham-saham lapis kedua dan ketiga juga masih memiliki potensi pertumbuh laba yang tinggi di atas 10%, sementara emiten-emiten besar sudah sulit untuk mencapai level yang sama.
Selain itu, aksi jual investor asing yang terus berlanjut juga sangat besar efeknya terhadap kinerja emiten-emiten lapis pertama, mengingat investor asing cenderung paling banyak masuk di saham-saham lapis pertama.
Dengan tren yang terjadi di pasar global saat ini, sangat sulit untuk menahan laju capital outflow investor asing. Sepanjang tahun ini, dana asing yang keluar dari pasar modal sudah mencapai Rp23 triliun, sentengah dari net sell 2017. Alhasil, butuh upaya ekstra untuk menyokong kinerja emiten-emiten lapis pertama.
Yuliana, Analis Riset Profindo Sekuritas Indonesia, mengatakan bahwa meningkatnya kinerja emiten-emiten lapis kedua dan ketiga lebih banyak disebabkan karena strategi peralihan portofolio investor saat ini yang cenderung menghindari saham-saham big cap akibat tekanan global.
Saham-saham kapitalasi menengah-kecil menjadi pilihan investor untuk aktivitas trading harian memanfaatkan tingkat volatilitasnya yang tinggi. Menurutnya, faktor tersebut lebih berpengaruh dibandingkan ekspektasi terhadap kinerja emiten-emiten tersebut secara fundamental.
Menurutnya saham-saham lapis pertama masih cukup prospektif untuk dibeli kembali karena beragam keunggulan emiten-emiten ini dari segi fundamentalnya. Koreksi yang terjadi lebih banyak didorong sentimen eksternal, sementara peluang pertumbuhan ekonomi tahun ini masih relatif lebih baik dibandingkan tahun lalu, meksipun ekspektasi 5,4% mungkin terlampau tinggi.
“Pelemahan di big cap ini bisa dimanfaatkan untuk buy on weakness karena 2018 pun pertumbuhan ekonomi kita saya rasa masih bisa di atas 2017 sehingga saham-saham blue chip pun akan mengalami kenaikan secara fundamental,” katanya.
Meksipun kinerja ekonomi di kuartal pertama tampaknya tidak akan terlalu positif hasilnya, dirinya berharap akan ada perbaikan di kuartal kedua dan ketiga seiring adanya momentum lebaran.
Di sisi lain, tuturnya, saham-saham capital besar saat ini valuasinya sudah terdiskon dari nilai wajar dan target harga dari konsensus analis. Dirinya menilai, secara psikologis investor akan kembali mengincar saham-saham big cap ini setelah gejolak eksternal mereda sehingga IHSG masih berpotensi menghasilkan return positif tahun ini.
Menurutnya, bila pembelikan tren mulai kembali terjadi, artinya investor mulai kembali memburu saham-saham lapis pertama, maka frekuensi dan volume transaksi di saham-saham lapis kedua dan ketiga akan mulai menurun dibandingkan saat ini. Otomatif, pembentukan harganya pun akan lebih lambat untuk meningkat.
Lagi pula, daya beli investor domestik saat ini sudah cukup kuat untuk mengimbangi aksi jual asing. Asalkan saja sentimen negatif ekstrenal tidak terus berlanjut untuk jangka panjang, maka prospek saham-saham lapis pertama masih tinggi.
“Lelel support kita untuk IHSG sekarang di 6.000. Kalau IHSG masih bisa bertahan di atas itu selama momen pelemahan ini, dia masih bisa berbalik arah. Namun, kalau sampai di bawah 6.000, IHSG bisa turun hingga 5.600. Profindo masih targetkan IHSG di 6.500-6.700 tahun ini,” katanya.