Bisnis.com, JAKARTA—Rerata harga nikel diprediksi menguat stabil di atas level US$12.000 per ton pada 2018 seiring dengan proyeksi masih terjadinya defisit pasokan di pasar global.
Pada penutupan perdagangan Jumat (16/2), harga nikel di London Metal Exchange (LME) turun 230 poin atau 1,63% menjadi US$13.920. Sepanjang tahun berjalan harga menguat 9,09%, tertinggi di antara logam industri lainnya.
Sebelumnya pada perdagangan Kamis (15/2), nikel berada di posisi US$14.150 per ton. Ini menjadi level tertinggi sejak 12 Mei 2015 dengan harga US$14.350 per ton.
Tahun lalu, harga logam ini meningkat 27,35% menjadi US$12.760 per ton. Rerata harga pada 2017 ialah senilai US$10.469,19 per ton.
Robertus Yanuar Hady, analis riset di Kresna Sekuritas menyampaikan, harga nikel di LME mengalami penguatan karena pembatasan penambangan dan ekspor di Filipina. Negara itu merupakan pemasok nikel utama ke China setelah Indonesia melarang pengapalan bijih sejak 2014.
Dari sisi permintaan, pasar nikel mendapat sentimen positif dari tingginya kebutuhan komponen baterai mobil listrik. Oleh karena itu, rerata harga pada 2018 diperkirakan menguat ke level US$12.500 per ton.
“Penggunaan nikel sebagai bahan baku mobil listrik menjadi salah satu faktor kunci mendorong permintan ke depannya,” tulisnya dalam publikasi riset, Senin (19/2/2018).