Bisnis.com, JAKARTA – Perdagangan berjangka untuk tembaga pada awal Februari terlihat tidak mampu bertahan di atas level US$7.000 per ton di tengah prediksi gangguan produksi yang lebih rendah pada tahun ini.
Pada penutupan perdagangan Jumat (9/2/2018), harga tembaga di London Metal Exchange (LME) merosot 90 poin atau 1,31% menjadi US$6.755 per ton, mencatat penurunan 4 sesi berturut-turut.
Hasil perdagangan itu memastikan bahwa perdagangan logam kuningan di awal bulan ini tidak mampu melanjutkan penguatan di atas level US$7.000 per ton, dengan catatan merosot hingga lebih dari 5% sepanjang 2018.
Analis senior Vivienne Lloyd dari lembaga keuangan global Macquarie Group memperkirakan bahwa kontrak beberapa tambang untuk negosiasi perdagangan tahun ini, sama dengan 31% dari produksi tembaga global.
Tahun lalu, tambang tembaga terbesar kedua di dunia, Grasberg di Indonesia telah mengalami penghentian sehubungan dengan pembahasan kebijakan dengan pemerintah. Freeport McMoran mengatakan pada 25 Januari bahwa perusahaan tersebut mendekati kesepakatan peralihan setelah menyetujui untuk melakukan divestasi 51% sahamnya.
“Sekarang pemerintah sebenarnya memiliki insentif untuk membiarkan tambang itu beroperasi. Jadi tahun ini mungkin gangguan lebih rendah,” kata Llyod.
Baca Juga
Di samping adanya persoalan perburuhan, pasar tembaga saat ini tengah diliputi oleh persoalan rencana kenaikan royalti dan pajak oleh Republik Democratic Kongo (DRC).
Dilansir dari Financial Times yang dikutip Bloomberg, dalam beberapa minggu terakhir para penambang menemukan lebih banyak implikasi dari apa yang akan terjadi di Afrika.
Kongo selaku produsen tembaga terbesar kelima di dunia telah mengumumkan niatnya untuk memberlakukan kenaikan royalti dan pajak, terlepas dari komitmen kontraktualnya.
Terkait pergerakan harga, dengan perkiraan bahwa tembaga bisa menembus level US$7.100 per ton dan biaya produksi sekitar US$5.000 per ton, semestinya ada gelombang investasi baru dalam perdagangan logam ini.