Bisnis.com, JAKARTA--Tahun 2015 segera berakhir. Sejumlah manajer investasi mulai meracik portofolio reksa dana mereka. Meski pasar modal diprediksi membaik, manajer investasi memilih sektor saham yang defensif untuk racikan reksa dana saham mereka.
Senior Fund Manager PT BNI Asset Management (BNI AM) Hanif Mantiq memprediksi kondisi pasar saham tahun depan akan lebih baik dibandingkan dengan tahun ini. Bila tahun ini indeks harga saham gabungan (IHSG) diperkirakan mencapai 4.800-4.900, tahun depan diharapkan ke level 5.500.
Meski demikian, pihaknya tetap memilih sektor-sektor yang defensif untuk underlying reksa dana saham. “Kami masih percayakan pada sektor konsumer sebagai pilihan utama. Harus diantisipasi juga ada keputusan the Fed yang akan berpengaruh pada awal tahun,” kata Hanif saat dihubungi Bisnis.com, Senin (14/12/2015).
Bila kondisi membaik, maka bisa ditambahkan sektor perbankan, konstruksi, serta properti. Sedangkan untk sektor energi, seperti migas dan pertambangan, BNI AM berusaha menghindari. “Bagaimanapun tetap harus defensif, kami menghindari sektor energi. Harganya sudah turun signifikan,” jelasnya.
Selain itu, perubahan portofolio reksa dana saham juga akan bergantung pada keputusan Bank Indonesia terkait BI rate. Menurutnya, bila ada penurunan BI rate, maka sektor yang berhubungan langsung seperti keuangan, semen, konstruksi, dan perdagangan akan langsung jadi incaran.
“Di semester I tahun ini, BNI AM tidak banyak di konstruksi dan semen karena belanja infrastruktur pemerintah lambat. Kami baru masuk di sektor tersebut semester II tahun ini.”
Sementara itu, untuk reksa dana pendapatan tetap, BNI AM memiliki strategi portofolio 50% untuk obligasi pemerintah dan 50% untuk obligasi korporasi. Berbeda dengan tahun ini yang lebih banyak mengoleksi obligasi pemerintah atau surat utang negara (SUN).
Selain itu, pihaknya memilih untuk seri jangka panjang. “Ambil jangka panjang, jual jangka pendek,” lanjut Hanif.
Dia merekomendasikan agar tahun depan investor memilik investasi yang lebih menantang. Pasalnya, secara makro ekonomi akan membaik tahun depan. “Jadi, yang tadinya masuk ke investasi yang tidak berisiko seperti deposito, bisa kembali masuk ke investasi berisiko.”
Senada, Direktur Utama PT Mandiri Manajemen Investasi M. Hanif mengatakan pasar saham tahun depan akan lebih baik dibandingkan tahun ini. Untuk underlying asset reksa dana saham tahun depan, MMI memilih sektor-sektor yang diprediksi akan tumbuh tahun depan seiring dengan tumbuhnya pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, MMI juga memilih untuk memasukkan sektor yang defensif. “Untuk reksa dana saham kami pilih sektor properti dan infrastruktur. Konsumer juga. Untuk perbankan kami netral tergantung kenaikan suku bunga the Fed bagaimana keputusannya,” kata Hanif dalam kesempatan terpisah.
Yang jelas, dia cukup optimistis dengan reksa dana saham tahun depan. Dia memprediksi IHSG 2016 tumbuh 15% dibandingkan dengan pencapaian tahun ini. “Saya katakan, tahun depan saatnya koleksi reksa dana saham. IHSG setidaknya akan menyentuh angka 5.000-an”
Sedangkan pasar obligasi, diprediksi masih volatile tahun depan. Dia memprediksi, pertumbuhan return obligasi tahun depan sekitar 10%-12%. “Tahun depan mungkin kami akan lebih banyak di obligasi korporasi. Sebenarnya relatif sama dengan tahun ini,” tambahnya.
Hans Kwee, Vice President Investment PT Quant Kapital Investama mengatakan dibandingkan reksa dana pendapatan tetap, pihaknya overweight kepada reksa dana saham. Menurutnya, untuk reksa dana saham ada sejumlah sektor yang bisa dijadikan underlying asset reksa dana saham, terutama saham bluechips.
“Kami masih optimistis di sektor perbankan, infrastruktur dan turunannya seperti semen dan konstruksi. Anggaran pemerintah berpeluang dikeluarkan lebih cepat,” kata Hans.
Menurutnya, peluang diturunkannya BI rate akan memberikan sentimen positif bagi sektor perbankan. Begitu juga untuk sektor properti. “Kalau BI rate turun, sektor properti ada sentimen untuk rebound. Konsumer juga bisa dijadikan pilihan yang layak.”
Sedangkan untuk reksa dana berbasis obligasi, Hans overweight pada obligasi pemerintah lantaran memiliki tingkat keamanan yang lebih tinggi dan likuid.