Bisnis.com, JAKARTA--Kurs rupiah terus menguat dalam 3 hari terakhir dari Rp14.700/US$ menjadi Rp13.821/US$ pada perdagangan di pasar spot. Sebenarnya, apa penyebab naik dan turunnya nilai tukar rupiah?
Haryanto T. Budiman, Managing Director Senior Country Officer Indonesia J.P Morgan Chase Bank N.A., mengatakan seperti prinsip ekonomi, dolar Amerika Serikat juga bergantung pada pasokan atau supply dan permintaan atau demand.
"Kita lihat supply dan demand dolar, sekarang demand dolar dari mana? Supply dari mana?" katanya saat berbincang dengan Bisnis pada Rabu (7/10/2015).
Dia memerinci permintaan terhadap dolar AS paling besar berasal dari PT Pertamina (Persero). Pertamina membutuhkan sekitar US$70 juta-US$80 juta dolar AS per hari.
Kebutuhan Pertamina terhadap dolar AS untuk pembelian impor minyak yang hingga saat ini harus dipenuhi dari luar negeri. Bahkan, saat harga minyak mentah dunia tinggi, Pertamina membutuhkan dolar setidaknya lebih dari US$100 juta per hari.
Kemudian, sambungnya, perusahaan yang membutuhan dolar AS yakni untuk pembayaran utang, cicilan, pokok dan bunga. Selanjutnya, dari perusahaan-perusahaan manufaktur yang membutuhkan bahan baku dalam bentuk impor.
Perusahaan-perusahaan tersebut harus membayar pembelian impor dalam bentuk dolar AS. Tidak hanya itu, kebutuhan dolar AS juga untuk repatriasi dividen perusahaan multinasional yang biasanya terjadi pada bulan Mei-Juni.
Kebutuhan dolar AS juga untuk repatriasi kupon surat utang negara (SUN) berdenominasi rupiah. Pasalnya, SUN Indonesia sebesar 38% dimiliki oleh investor asing.
"Begitu mereka dapat kupon, mereka harus konversi dari rupiah ke dolar," paparnya.
Sementara itu, pasokan dolar AS didapatkan salah satunya dari modal masuk ke Indonesia atau inflows. Bila investor membeli saham, tentu investor asing itu akan membawa dana dolar AS.
Misalnya saja, saham PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk. (HMSP). Saham HMSP dijual dalam bentuk rupiah, sehingga investor harus mengonversikan mata uang dolar AS ke dalam rupiah.
Akan tetapi, katanya, yang terjadi saat ini, bukanlah inflows dari pasar modal Indonesia. Namun, aliran dana asing yang keluar dari bursa saham Indonesia bahkan telah mencapai lebih dari Rp12 triliun sejak awal tahun.
Investor asing justru mengonversikan rupiah ke dolar AS untuk keluar dari pasar modal Indonesia. Beruntung, inflows untuk pembelian SUN RI masih stabil.
"Kita bersyukur sampai saat ini SUN RI masih stabil. Tidak ada outflow yang signifikan. Investor masih masuk, membawa dolar. Meski demand agak kurang. Karena likuiditas mengetat di Indonesia," bebernya.
Terakhir, pasokan dolar AS didapatkan dari eksportir yang melakukan konversi dari hasil ekspor. Namun, jika eksportir menahan dolar AS di bank, yang terjadi justru tidak ada tambbahan pasokan.
Akhinya, bila tidak ada pasokan untuk memenuhi kebutuhan dolar, mau tidak mau harus dari Bank Indonesia. Cadangan Devisa yang disimpan oleh BI dipastikan akan tergerus.
Bank Indonesia bahkan tercatat telah menguras cadangan devisa hingga US$4,55 miliar setara dengan Rp65,97 Triliun. Per 20 September 2015, Cadev yang dicatat BI tersisa US$103 miliar dari akhir Juli 2015 sebesar US$107,55 miliar.