Bisnis.com, JAKARTA—Rupiah sangat rentan terhadap gejolak karena pasar valuta asing di Indonesia bermasalah. Persediaan valas tipis karena eksportir enggan menyimpan valas di Tanah Air.
Rupiah terdepresiasi tajam saat nilai tukar dolar Amerika Serikat menanjak dalam beberapa bulan terakhir, terdepresiasi hingga 6,92% ke Rp13.245/US$ sebelum kembali menguat hingga 2,51% ke Rp12.912/US$ setelah The Fed memperlunak rencana pengetatan moneter.
Mata uang Garuda hari ini, Selasa (31/3/2015) diperdagangkan turun hingga 0,22% ke Rp13.104 per dolar AS. Adapun yield SUN bertenor 10 tahun dalam sebulan terakhir sempat naik hingga 12,18% dan merosot hingga 6,81% pada kisaran yield 6,886%--7,725%.
Destry Damayanti, dari Mandiri Institute, memaparkan pertumbuhan pengguanaan valas untuk kegiatan ekonomi riil tidak sebanding dengan perkembangan pasar valas di Indonesia.
“Ada yang salah dengan pasar valas kita. Ini menjelaskan rupiah yang rentan. Ketika suplai dolar tidak tumbuh, permintaan atas dolar terus menanjak,” katanya dalam Indonesia Update April 2015 yang diterbitkan Mandiri Institute.
Ketimpangan tersebut tampak dari perbandingan antara penggunaan valas untuk kegiatan perdagangan internasional, utang korporasi, dan repatriasi dengan turnover pasar valas di Indonesia.
Transaksi harian dalam dolar, menurut Destry, berkisar antara US$2–US$2,5 miliar dalam 10 tahun terakhir.
Pada periode yang sama, penggunaan dolar untuk kegiatan ekspor impor naik tiga kali lipat dari US$5 miliar per bulan menjadi US$15 miliar dalam 15 tahun terakhir.
Repatriasi pendapatan naik dari US$10 miliar pada 2000 menjadi US$27 miliar pada 2014.
Kebutuhan dolar untuk pembayaran utang juga semakin tinggi. Permintaan dolar untuk pembayaran utang dalam valas naik dari US$134 miliar pada 2006 menjadi US$293 miliar pada akhir 2014.
“Dolar ini lari ke mana? Apa yang terjadi dengan pendapatan ekspor US$180 miliar per tahun dan arus modal masuk US$44 miliar?” kata Destry.
Destry menilai ketimpangan tersebut adalah dampak dari eksportir yang lebih memilih menyimpan valas di dalam negeri.
Suplai valas yang tipis di masyarakat menjadikan Bank Indonesia sebagai pemasok utama dolar.
Kondisi ini bermasalah karena BI berfungsi sebagai regulator yang bertanggung jawab terhadap kestabilan moneter dan harus berhati-hati dalam menggunakan candangan valas mereka yang saat ini mencapai US$115,5 miliar.
Destry mendesak pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan segera menyusun formula untuk mengatasi masalah suplai dolar di dalam negeri.
Para pengambil kebijakan harus mempertimbangkan kembali Undang Undang Devisa Bebas dan menerapkan sistem nilai tukar bebas secara selektif.
Dia mencontohkan kebijakan Malaysia, Thailand, dan India yang mengharuskan eksportir menyimpan valas di bank domestik dan mengkonversi valas ke mata uang nasional dalam periode tertentu.
“Kita juga harus segera mempercepat penerbitan instrumen investasi jangka panjang, seperi obligasi infrastruktur dengan insentif yang menarik untuk menarik modal jangka panjang,” kata Destry.