Bisnis.com, JAKARTA— Pasar saham dan obligasi masih belum stabil dalam jangka menengah karena investor ragu dengan kestabilan rupiah.
Apresiasi tajam rupiah dalam dua hari terakhir dinilai hanya sentimen jangka pendek pasca The Fed memutuskan memperlambat laju pengetatan moneter di Amerika Serikat.
Rupiah sejak awal tahun telah terdepresiasi hingga 6,92%. Sejak pengumuman The Fed pada Kamis dini hari (19/3/2015), pelemahan tersebut sudah terhapus sepertiganya dengan apresiasi rupiah sebesar 2,13%.
I Made Adi Saputra, analis BNI Sekuritas, mengatakan fundamental rupiah masih menjadi perhatian utama investor lokal dan asing di pasar domestik.
Rupiah dinilai rentan terhadap tekanan neraca berjalan karena kinerja perdagangan luar negeri Indonesia masih lesu.
Kondisi tersebut, lanjutnya, membuat kondisi pasar obligasi dan saham domestik sangat bergantung pada data ekonomi Indonesia dan Amerika Serikat.
“Sejauh ini belum ada momentum fundamental. Nilai tukar itu kan tergantung perdagangan,” kata Made, Selasa (24/3/2015).
Keseimbangan neraca perdagangan Indonesia dalam beberapa bulan terakhir terbantu oleh harga minyak yang rendah. Neraca perdagangan Indonesia konsisten mencetak surplus sejak harga minyak dunia jatuh pada Desember.
Namun, ekspor Indonesia masih lesu. Nilai ekspor Indonesia anjlok dari US$14,63 miliar pada Februari 2014 menjadi US$12,29 miliar pada Februari 2015.
Made memperkirakan investor asing tidak akan agresif masuk ke pasar Indonesia, khususnya pasar obligasi, sambil menunggu rupiah stabil.
Mereka tidak ingin mendongkrak harga terlalu cepat di saat rupiah masih rentan terhadap pelemahan. Imbal hasil mereka bisa langsung tergerus jika rupiah tiba-tiba merosot tajam.
“Dalam jangka lebih panjang masih akan volatile. Di Indonesia, porsi asing cukup besar. Mereka tidak agresif karena cost of fund bisa naik jika rupiah tiba-tiba turun,” kata Made.
Imbal hasil SUN tenor 10 tahun Indonesia langsung merosot 1,84% setelah pengumuman The Fed pekan lalu.
Namun, yield SUN tersebut berbalik naik 1,26% pada Jumat sebelum kemarin kembali turun 1,08%. Sampai siang ini, yield obligasi bernomor FR70 itu sudah merosot 0,86%.
Made memperkirakan investor asing tidak akan agresif masuk ke pasar Indonesia, khususnya pasar obligasi, sambil menunggu fundamental rupiah kuat.