Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Analis Beberkan Ancaman dan Peluang di Balik Euforia Pasar Obligasi RI

Pasar obligasi Indonesia diproyeksikan positif hingga 2025 berkat ekspektasi penurunan suku bunga. Namun, risiko geopolitik dan kebijakan AS bisa mempengaruhi.
Pegawai mengamati layar transaksi obligasi di dealing room BNI, Jakarta, Rabu (21/5/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai mengamati layar transaksi obligasi di dealing room BNI, Jakarta, Rabu (21/5/2025). Bisnis/Himawan L Nugraha
Ringkasan Berita
  • Pasar obligasi Indonesia diproyeksikan positif hingga akhir 2025, didorong oleh ekspektasi penurunan suku bunga dari The Fed dan Bank Indonesia.
  • Risiko yang membayangi pasar obligasi termasuk tarif resiprokal AS, tensi geopolitik, dan potensi stagflasi yang dapat mempengaruhi kebijakan suku bunga.
  • Kondisi fiskal Indonesia dan keputusan kebijakan di Amerika Serikat menjadi faktor penting yang dapat mempengaruhi stabilitas dan prospek pasar obligasi.

* Ringkasan ini dibantu dengan menggunakan AI

Bisnis.com, JAKARTA – Didorong ekspektasi pelonggaran moneter dari The Fed hingga Bank Indonesia (BI), pasar surat utang Indonesia dinilai memiliki prospek yang positif hingga usai 2025.

Berdasarkan catatan Mirae Asset Sekuritas Indonesia, yield SBN 10 tahun ditutup di level 6,33% pada Senin (25/8/2025). Level itu disebut merupakan level terendah sejak Februari 2023 atau dalam 22 bulan terakhir.

Kendati, pada perdagangan Rabu (27/8/2025) level yield SBN 10 tahun kembali ke 6,34%, hal ini tidak menafikan tren penurunan yield yang diproyeksi masih terjadi hingga akhir tahun ini. 

Head of Fixed Income Research PT Mandiri Sekuritas Handy Yunianto menerangkan, hingga akhir 2025, prospek obligasi akan positif. Hal itu didorong oleh kecenderungan suku bunga yang turun sehingga akan diikuti dengan penurunan yield obligasi.

“Dengan demikian investor akan mendapatkan dual gain, dari kupon obligasi dan capital gain kenaikan harga,” katanya, Rabu (27/8/2025).

Bahkan, Handy memproyeksikan bahwa yield SBN dengan tenor 10 tahun akan berada di level 5,8–6,2% hingga akhir 2025.

Meskipun begitu, kondisi pasar obligasi Tanah Air tidak terlepas dari risiko. Handy menilai, sejumlah risiko yang berpotensi membayangi pasar obligasi dalam negeri antara lain tarif resiprokal AS, tensi geopolitik yang kembali memanas, atau The Fed yang urung memangkas suku bunga.

“Kekhawatiran stagflasi menjadi risiko paling besar, karena bank sentral dalam posisi dilematis, jika menurunkan bunga untuk bantu ekonomi dikhawatirkan inflasinya malah akan semakin tinggi. Jika bunga dinaikkan, ekonominya bisa semakin dalam kontraksinya,” kata Handy.

Sementara itu, dari dalam negeri, kondisi fiskal Indonesia menentukan arah pasar obligasi ke depannya. Dia menilai, jika terjadi pelebaran defisit fiskal, hal itu berpotensi meningkatkan pembiayaan utang negara.

Adapun pemerintah Indonesia mencatatkan defisit APBN kurang dari 3% terhadap produk domestik bruto (PDB). Hal ini berimbas pada pengukuhan peringkat utang RI pada level layak investasi, termasuk yang dirilis oleh lembaga pemeringkat, S&P dengan peringkat BBB (triple B) dan prospek layak investasi.

Senada, Head of Fixed Income PT Anugerah Sekuritas Indonesia menilai, prospek pasar obligasi di sisa paruh kedua 2025 cukup positif. Menurutnya, tren penguatan obligasi dalam dua hingga tiga bulan belakangan terjadi setelah pasar sempat melemah akibat isu tarif dagang Trump.

“Asumsi saya memang potensi penguatan ini lebih didorong di eksternal faktor. Terutama kestabilan di global, dan potensi penurunan suku bunga secara global,” katanya.

Ramdhan mencatat bahwa yield SBN tenor 10 tahun kini berada di kisaran 6,25-6,3%. Dia memproyeksikan potensi penguatan lebih lanjut, meskipun terbatas.

Namun, dia menegaskan bahwa secara historis, sulit bagi yield SBN 10 tahun untuk berada di bawah 6%, kecuali pada kondisi luar biasa seperti saat pandemi COVID-19.

“Tapi paling tidak, yield SBN masih berpotensi menuju 6,1–6,2%. Menurut saya masih ada potensi,” katanya.

Di balik optimisme ini, sentimen yang masih membayangi pasar obligasi adalah isu tarif dagang dan ketegangan politik. 

Keputusan kebijakan di Amerika Serikat juga menjadi faktor penting yang sulit ditebak. Menurutnya, hal ini bisa berdampak pada inflasi, yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi global. 

Dengan demikian, meskipun prospek pasar obligasi cerah, investor dan pelaku pasar tetap harus waspada terhadap dinamika politik dan ekonomi global yang bisa sewaktu-waktu mempengaruhi pasar surat utang.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro