Bisnis.com, JAKARTA -- Meningkatnya sentimen negatif yang berasal dari pelemahan rupiah dan ekspektasi pasar bahwa The Fed akan segera mengurangi program stimulusnya diyakini telah memicu aksi jual di pasar obligasi domestik.
Pada pekan lalu, PT Penilai Harga Efek Indonesia (Indonesia Bond Pricing Agency/IBPA) dalam laporannya yang dirilis Selasa (10/9/2013) mencatat total frekuensi perdagangan meningkat sebesar 39,1% week on week dari 293 kali per hari menjadi 408 kali transaksi per hari.
Namun di sisi lain, total volume perdagangan mencatatkan penurunan sebesar 41,7% menjadi Rp3,8 triliun jika dibandingkan pada pekan sebelumnya yakni senilai Rp6,5 triliun.
Pada akhir pekan lalu, perdagangan obligasi ditutup dengan meroketnya transaksi obligasi pemerintah bertenor pendek yakni sebesar 2.263,6% jika dibandingkan sehari sebelumnya yakni dari 44 kali per 5 September menjadi 1.040 kali transaksi per 6 September.
Meningkatnya risiko tersebut ikut memicu berlanjutnya kenaikan yield pada kurva imbal hasil obligasi pemerintah IBPA-IGSYC (IBPA-Indonesia Government Securities Yield Curve) pada pekan lalu.
Obligasi bertenor pendek (1 - 4 tahun) memimpin kenaikan yield sebesar 30,0 basis poin (bps), sementara obligasi bertenor menengah (5 - 7 tahun) dan panjang (8 - 30 tahun) turut bergerak bearish masing-masing sebesar 29,1 bps dan 27,9 bps.
Spread yield antara tenor 2 tahun dan 10 tahun pada pekan lalu bergerak melebar dari kisaran 78,7 bps pada pekan lalu menjadi 85,6 bps. Kenaikan yield juga terjadi pada kurva global bond pemerintah dengan tenor panjang yang memimpin kenaikan yakni sebesar 33,4 bps. (ra)