Bisnis.com, JAKARTA—Sejalan dengan turbulensi perekonomian global, imbal hasil obligasi negara-negara Asia menggelembung dengan rerata kenaikan sepanjang tahun berjalan sebesar 47 basis poin.
Berdasarkan data Asian Bonds On line per 19 Juli 2013, Indonesia menjadi negara dengan kenaikan imbal hasil (yield) tertinggi yakni 268 basis poin (bps) menjadi 7,78%.
Diikuti kenaikan yield obligasi Hong Kong yang 160 bps menjadi 2,19%. Obligasi Singapura mengalami peningkatan yield tertinggi ketiga, 115 bps menjadi 2,45%.
Adapun Malaysia mengalami lonjakan yield 30 bps menjadi 3,80%. Yang menarik, meski selalu memiliki yield tertinggi di Asia, Vietnam mampu menekan biaya bunga utangnya 106 bps menjadi 9,13%.
Ekonom PT Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan kenaikan imbal hasil obligasi negara-negara Asia sebagian besar dipengaruhi kondisi ekonomi global, seperti kebijakan stimulus moneter Amerika Serikat. Sebagian sisanya didorong faktor internal masing-masing negara.
Khusus Indonesia, riset Samuel Management menunjukkan, imbal hasil obligasi acuan 10 tahun RI yang tertinggi mencapai level 8,301% pada 16 Juli 2013, dengan level terendah 5,08% pada 8 Januari 2013. Jika dilihat dari data tersebut, rentang kenaikan yield obligasi RI bahkan tercatat 322 bps.
“Obligasi RI sudah underweight sejak awal tahun sehingga mengalami koreksi harga dalam waktu cepat. Investor asing melihat pasar obligasi Indonesia lebih banyak berada dalam posisi jual dari pada beli,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (22/7/2013).
Lana menambahkan koreksi juga didorong adanya kenaikan inflasi akibat gangguan suplai pada awal tahun. Kinerja perdagangan pada beberapa bulan pertama tahun ini juga kurang memuaskan sehingga alih-alih menyumbang malah menggerus cadangan devisa.
Tak hanya itu, sambungnya, potensi inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi juga menambah guncangan pada pertengahan tahun ini. Akibatnya, investor asing akhirnya berpikir ulang dengan adanya risiko ganda, yakni inflasi dan depresiasi nilai tukar.
Itulah sebabnya kenapa kenaikan imbal hasil obligasi acuan tenor 10 tahun di Indonesia menjadi yang tertinggi di kawasan Asia. “Maka, terjadilah koreksi harga karena sudah terlalu mahal dari awal tahun, jadi risikonya meningkat,” paparnya.
FUNDAMENTAL KUAT
Mengomentari hal ini, Wakil Menteri Keuangan Mahendra Siregar menyatakan kondisi dalam negeri saat ini lebih disebabkan oleh pengaruh ekonomi global. Dia mengklaim fundamental Indonesia masih sangat kuat, terbukti dengan nilai tukar rupiah tercatat nomor 3 terkuat dalam 1 bulan terakhir.
Dia menambahkan Indonesia dianugerahi populasi yang besar dan membawa berkah pada tingginya volume pasar keuangan domestik. “Perekonomian Indonesia memberi kontribusi 40% terhadap total ekonomi kawasan Asia Tenggara dan membawa pengaruh besar terhadap
pergerakan kawasan.”
Menurut Lana, kenaikan harga obligasi AS atau US Treasury tenor 10 tahun memang naik ke level tertinggi dalam rentang 2 mingguan hampir dalam setahun terakhir. Yield US Treasury turun 26 bsp menjadi 2,48% dari level tertinggi yang dicapai bulan ini.
“Situasi ini memang akan menekan pasar obligasi Indonesia. Treasury bullish indikator permintaan naik, jadi banyak dana ke pasar AS. Itu tentu
menguatkan dolar dan semakin melemahkan rupiah. Jika kondisi ini terus berlangsung, akhir tahun nanti yield obligasi Indonesia bisa tebus 8%.”
“Secara netto 2,5% yield treasury sama dengan 5,5% yield Indonesia. Investor tentu mau insentif lebih karena risiko emerging market lebih besar, paling tidak 8%,” jelasnya.
Dalam perhitungan rinci, yield treasury berada di level 2,5% dan rupiah melemah sebesar 3%, maka investor harus mendapat yield netto 5,5% dari obligasi Indonesia. (Lavinda)