BISNIS.COM, JAKARTA—Kementerian Perdagangan sedang menjajaki kerja sama untuk mendapatkan fasilitas lindung nilai (hedging) yang ditawarkan oleh Chicago Mercantile Exchange (CME), sedangkan animo perdagangan bursa berjangka di dalam negeri sendiri masih minim.
Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi menyatakan dengan mekanisme hedging atau perlindungan nilai ini, pihak dalam negeri bisa mengambil kontrak tertentu di masa datang sehingga bisa mendapat kepastian harga.
Selama sepekan ini, Kemendag mengadakan kunjungan kerja ke Negeri Paman Sam. Penjajakan kerja sama dengan CME adalah salah satu agendanya. Adapun bursa komoditas Chicago merupakan yang terbesar dan mempengaruhi 44% dari total perdagangan komoditas dunia.
“Mereka [CME] mampu mempengaruhi harga. Saat ini yang kita rasakan pengaruhnya paling tidak untuk kedelai, gula, dan jagung," katanya pada Rabu (12/6/2013) .
Menurut Bayu, besarnya fluktuasi harga beberapa komoditas impor tersebut turut mempengaruhi pelaku usaha dan berdampak pada inflasi. Oleh sebab itu, kerja sama ini diharapkan bisa memperkuat posisi bursa komoditas Indonesia di dunia.
Untuk membahas hal tersebut, Bayu yang didampingi Pelaksana Harian Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), Nus Nuzulia Ishak dan Konsul RI di Chicago Andriana Supandy telah menemui CEO CME Group Phupinder S. Gill pada 11 Juni waktu setempat.
Adapun kedua pihak sepakat untuk menjajaki kerja sama guna mengembangkan perdagangan berjangka komoditi Indonesia di Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) dan Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI).
"Dengan peluang kerja sama ini, BBJ dan BKDI diharapkan mampu meningkatkan transaksi perdagangan berjangka komoditi, terutama untuk komoditas andalan kita seperti kopi, CPO, dan kakao," kata Bayu pada Rabu (12/6).
Nursalam, Direktur ICDX mengatakan, apabila negara lain masih menjadi penentu harga, sedangkan kita adalah produsennya, maka transparansi harga yang benar dan adil tidak akan tercipta.
“Dunia harus sadar bahwa kita berkuasa atas harga, karena kita salah satu produsen komoditas terbesar dunia,” ujarnya pada Kamis (13/6/2013).
Dirinya menambahkan, pihaknya selaku bursa berjangka dari Indonesia saat ini butuh untuk membangun kredibilitas untuk bisa menjadi bursa penentu harga komoditas unggulan produksi Indonesia.
“Peran pemerintah dalam hal ini sangat menentukan. Lihat saja Singapura, mereka itu bukan negara produsen, mereka tidak punya sumber daya alam, tapi karena pemerintah mereka tegas, maka harga disana bisa terjaga dengan baik,” kata Nursalam pada Kamis (13/6).
Nursalam menambahkan, kerjasama dengan Chicago sebenarnya sudah kami lakukan sejak 2011, yang juga menjadi salah satu program Penyaluran Amanat Luar Negeri (PALN).
“Namun jenis transaksi baru mencakup Sistem Perdagangan Alternatif (SPA) seperti emas berjangka dan valas, belum merambah ke kontrak multilateral seperti sawit, timah, atau kopi,” tutur Nursalam pada Kamis (13/6).
Adapun kunjungan ke US-CFTC dilakukan rombongan Kementrian Perdagangan untuk melihat peran regulator Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) di Amerika Serikat seperti yang dilakukan oleh Bappebti.
“Perdagangan berjangka komoditi di Indonesia saat ini mengalami pertumbuhan pesat. Oleh karena itu, Bappebti selaku regulator harus dapat mengembangkan kerja sama yang saling mendukung antara Pemerintah dan swasta seperti yang dilakukan oleh US-CFTC kepada CME."
Selain peluang kerja sama, dalam pertemuan tersebut juga dibahas pentingnya menjaga integritas Bursa Berjangka dan melakukan pengawasan secara menyeluruh terhadap pelaksanaan PBK.
“Untuk ini Indonesia perlu melakukan pengembangan sistem pengawasan yang menyeluruh dan terpadu antara Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi, Bursa Berjangka, dan Lembaga Kliring Berjangka,” jelasnya.
Lebih lanjut Wamendag mengatakan bahwa Bappebti akan melanjutkan komunikasi secara intensif dengan US-CFTC dan CME untuk pengembangan Bursa Berjangka Komoditi di Indonesia.