Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar dolar AS anjlok pada akhir pekan ini, setelah para pelaku pasar menghitung ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed.
Berdasarkan data Bloomberg, indeks Bloomberg Dollar Spot turun 0,9% atau penurunan harian terburuk sejak 11 April 2025. Di sepanjang tahun berjalan, greenback sudah terdepresiasi lebih dari 7% akibat kebijakan dagang Trump yang agresif mengguncang pasar mata uang dan membebani prospek pertumbuhan global.
Sementara itu, yen mencatat penguatan tertinggi atau naik hingga 2,3% terhadap dolar dan euro menguat lebih dari 1%.
Adapun, laporan ketenagakerjaan AS yang dirilis lebih lemah dari perkiraan membuat para pelaku pasar berekspektasi besaran pemangkasan suku bunga di Negeri Paman Sam tahun ini.
Data ketenagakerjaan bulan Juli meleset dari ekspektasi dan dua bulan sebelumnya direvisi lebih rendah. Hal ini mendorong pelaku pasar untuk sepenuhnya memperkirakan ada dua kali pemangkasan suku bunga oleh The Fed tahun ini.
Laporan ketenagakerjaan yang lemah muncul di tengah kritik Presiden AS Donald Trump terhadap Ketua The Fed Jerome Powell karena dinilai lamban dalam menurunkan suku bunga.
Helen Given, seorang trader valuta asing di Monex Inc, mengatakan saat ini sudah jelas pasar tenaga kerja AS sedang mendingin secara cukup tajam.
"Ada kemungkinan besar bahwa kampanye Trump terhadap Ketua Powell akan semakin memanas dalam beberapa hari mendatang, dan hal ini dapat menyebabkan pelemahan dolar lebih lanjut," kata Given, dikutip Bloomberg, Minggu (3/7/2025).
Adapun, Juli sebenarnya memberikan sedikit kelegaan karena pelaku pasar mengurangi posisi jual terhadap dolar seiring dengan berkurangnya tekanan terhadap mata uang tersebut.
Menurut data dari Commodity Futures Trading Commission yang dirilis Jumat, posisi spekulatif terhadap pelemahan dolar di pasar berjangka dan opsi tercatat pada level terendah sejak April dalam pekan yang berakhir pada 29 Juli 2025.
Meski demikian, beberapa pelaku pasar memperkirakan dolar masih berpotensi melemah jika data ekonomi terus menunjukkan perlambatan pertumbuhan.
“Jika kelemahan dalam data aktivitas ekonomi terus berlanjut ke depan, pasar akan mulai mempertanyakan kinerja unggul saham AS belakangan ini yang sebagian besar didorong oleh pengumuman kesepakatan dagang, yang sebelumnya sempat mendongkrak dolar dibanding mata uang lainnya,” kata Jayati Bharadwaj, seorang ahli strategi di TD Securities.