Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Ditutup Perkasa ke Rp16.319 Walau Dolar AS Menguat

Rupiah menguat ke Rp16.319,50 meski dolar AS naik, didorong sentimen global dan kebijakan ekonomi domestik. Mata uang Asia lainnya bervariasi.
Karyawan menunjukan uang dolar AS di Jakarta, Senin (14/7/2025). Bisnis/Abdurachman
Karyawan menunjukan uang dolar AS di Jakarta, Senin (14/7/2025). Bisnis/Abdurachman

Bisnis.com, JAKARTA – Mata uang rupiah ditutup menguat ke posisi Rp16.319,50 per dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Selasa (22/7/2025). Sementara itu, sejumlah mata uang di Asia ditutup beragam.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah mengakhiri perdagangan hari ini dengan menguat 0,02% atau 3,5 poin ke level Rp16.319,50 per dolar AS. Pada saat yang sama, indeks dolar AS terpantau menguat 0,10% ke posisi 97,94.

Sementara itu, sejumlah mata uang lain di Asia ditutup beragam. Rupee India misalnya, melemah 0,11%, yuan China melemah 0,08%, baht Thailand melemah 0,31%, won Korea terkoreksi 0,39%, hingga dolar Taiwan melemah 0,12%.

Tidak hanya itu, dolar Singapura turut melemah 0,12% dan yen Jepang melemah 0,18%. Sebaliknya, sama seperti rupiah, ringgit Malaysia menguat 0,05% dan peso Filipina ditutup menguat 0,21%.

Analis mata uang Ibrahim Assuaibi menerangkan, penguatan rupiah terhadap dolar AS datang dari beragam sentimen. Pada tataran global, Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengenakan tarif 30% terhadap sebagian besar barang impor dari blok Uni Eropa.

Selain itu, ketegangan antara The Fed dengan Donald Trump, mengenai potensi penurunan suku bunga, juga menjadi fokus pasar. Ibrahim menilai, probabilitas menunjukkan bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunganya.

Dari dalam negeri, kondisi ekonomi eksternal cenderung mempengaruhi kinerja perekonomian domestik. Sejumlah perlambatan ekonomi dunia, di negara-negara mitra dagang Indonesia, bakal berdampak pada kinerja ekspor nasional.

Maka dari itu, pemerintah dinilai perlu mengambil kebijakan yang bersifat countercyclical, untuk meredam dampak fluktuasi ekonomi, seperti mendorong belanja pemerintah yang lebih produktif hingga memberikan stimulus ekonomi.

Selain itu, kebijakan moneter BI juga dinilai sejalan dengan kecenderungan inflasi yang cukup rendah. Ibrahim menilai, countercyclical policy fiskal dan moneter belum cukup kuat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, tetapi lebih menahan laju perlambatan ekonomi nasional.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro