Bisnis.com, JAKARTA — Emiten pertambangan PT PAM Mineral Tbk. (NICL) mencatatkan lonjakan volume penjualan nikel sehingga meraih penjualan Rp1,05 triliun pada semester I/2025.
Ruddy Tjanaka, Direktur Utama NICL, menyampaikan pada semester I/2025 perseroan meraih penjualan Rp1,05 triliun, melonjak 152,07% dari sebelumnya Rp419,19 miliar pada paruh pertama 2024. Lonjakan pendapatan tak lepas dari pertumbuhan penjualan nikel sebesar 166,46% menjadi 1,88 juta ton dari sebelumnya 707.597 ton.
“Peningkatan volume penjualan dan efisiensi beban usaha menyebabkan laba bersih periode berjalan melonjak 386,51% menuju Rp358,07 miliar dari sebelumnya Rp73,59 miliar,” jelasnya dalam keterangan resmi, Minggu (20/7/2025).
Menurut Ruddy Tjanaka, sejak akhir 2024, harga acuan nikel domestik mengalami penurunan sebesar 3,80% sejalan dengan tren global. Harga juga dipengaruhi euforia pasar kendaraan listrik yang mulai normal dan meningkatnya permintaan baja stainless steel.
Penurunan harga nikel tersebut merupakan koreksi positif dan sudah diprediksi oleh perseroan. NICL sudah menyiapkan langkah antisipatif, tercermin dengan kinerja operasional dan keuangan yang bertumbuh pada semester I/2025.
“Kami meyakini penurunan harga ini merupakan fluktuasi jangka pendek dan NICL berkomitmen untuk tetap adaptif terhadap situasi terkini guna mempersiapkan juga mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi,” jelas Ruddy Tjanaka.
Baca Juga
Sementara itu, perusahaan yang dimiliki konglomerat Christoper Sumasto Tjia ini mencatatkan pertumbuhan jumlah aset menjadi Rp1,09 triliun pada semester I/2025, naik 4,73% dari Rp1,05 triliun pada akhir 2024. Liabilitas turun menjadi Rp150,69 miliar dari sebelumnya Rp171,92 miliar.
Di sisi lain, ekuitas mengalami peningkatan dari Rp878,18 miliar menjadi Rp949,13 miliar pada semester I/2025. Hal ini disebabkan oleh peningkatan saldo laba tahun berjalan yang sangat signifikan.
Ruddy Tjanaka menyampaikan secara historis, perseroan selalu membagikan dividen setiap tahun. Pada 2025, NICL juga telah membagikan dividen interim untuk periode buku 31 Maret 2025 kepada para pemegang sahamnya sebesar Rp159,53 miliar atau setara dengan 82,60% dari laba bersih.
“Kedepannya, NICL berkomitmen untuk melakukan pembagian dividen kembali kepada pemegang saham yang besarannya akan menyesuaikan dengan persetujuan RUPS,” tutur Ruddy Tjanaka.
Perseroan memperkirakan pada semester II/2025, harga nikel masih bergerak fluktuatif imbas dari kebijakan tarif perdagangan Amerika Serikat. Adanya kelebihan pasokan juga dapat menambah tekanan terhadap harga nikel.
Namun, industri nikel domestik memiliki peluang strategis dimana adanya ketegangan antara China dan negara barat yang membuat banyak negara mencari alternatif pasokan logam kritis. Indonesia dapat memanfaatkan peluang itu sebagai pemain kunci non-China.
Kondisi dan situasi nikel domestik saat ini semakin kompetitif dengan adanya beberapa smelter yang beroperasi dengan berbagai teknologi. Hal ini menjadi keuntungan bagi NICL dengan beberapa jenis kategori (produk) ore yang diproduksi sesuai dengan kebutuhan market.
Melihat situasi market domestik, NICL memperluas jaringan pemasaran melalui upaya kerja sama dengan beberapa smelter dan trader sehingga wilayah area pemasaran tidak hanya di wilayah Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah, akan tetapi sampai ke Pulau Obi dan Pulau Halmahera. Selain itu, perseroan juga akan membuka peluang untuk mencari beberapa partner strategis dalam rangka pengembangan usaha.