Bisnis.com, JAKARTA — Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah ke posisi Rp16.257,5 pada perdagangan hari ini, Kamis (10/7/2025). Di sisi lain, greenback terpantau menguat signifikan.
Mengutip Bloomberg, rupiah dibuka melemah sebesar 50 poin atau 0,32% menuju level Rp16.257,5 per dolar AS. Adapun, indeks dolar AS melemah 0,23% ke 97,33.
Sementara itu, mata uang di Asia mayoritas dibuka menguat. Yuan China menguat 0,05% bersama yen Jepang sebesar 0,33%. Sementara itu, ringgit Malaysia dan won Korea juga menguat dengan persentase masing-masing 0,09% dan 0,11%.
Pengamat forex Ibrahim Assuaibi memproyeksikan rupiah bergerak fluktuatif tetapi berpotensi ditutup melemah di kisaran Rp16.240-Rp16.300 per dolar AS pada Kamis (10/7/2025).
Menurutnya, ada sejumlah faktor yang memengaruhi pergerakan mata uang rupiah. Dari sisi eksternal, investor cenderung hati-hati menunggu pengumuman tarif perdagangan lebih lanjut dari Presiden AS Donald Trump yang telah mulai mengirimkan surat tarif.
Surat itu berisikan pengumuman kepada 14 negara bahwa bea masuk yang jauh lebih tinggi akan berlaku pada tanggal 1 Agustus mendatang.
“Dari 14 negara, sembilan berada di Asia. Surat tarif tersebut menguraikan pungutan sebesar 25% untuk semua barang dari Jepang dan Korea Selatan. Sementara itu, beberapa negara yang lebih kecil menghadapi tarif hingga 40%,” ujar Ibrahim.
Trump juga bakal mengenakan tarif 50% untuk lembaga impor dan akan segara menerapkan bea masuk yang telah lama dijanjikan untuk semikonduktor dan farmasi.
Sementara itu, fokus pelaku pasar saat ini tertuju pada risalah rapat The Fed yang dirilis Kamis dini hari pukul 01.00 WIB. Laporan ini akan merinci alasan The Fed mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25%-4,50% dalam pertemuan bulan Juni lalu.
Dari Asia, data inflasi konsumen China menunjukkan sedikit peningkatan pada Juni 2025. Kenaikan ini didorong subsidi pemerintah serta meredanya tensi dalam perang dagang dengan AS, yang memberikan dorongan ringan terhadap belanja rumah tangga.
Ibrahim melanjutkan bahwa dari dalam negeri, hasil survei konsumen terbaru Bank Indonesia (BI) menunjukkan meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap pasar tenaga kerja. Persepsi terhadap ketersediaan lapangan kerja semakin pesimis, disertai dengan penurunan keyakinan terhadap ekspektasi penghasilan rumah tangga.
“Ekonom menilai kondisi ini menjadi alarm bagi pemerintah akan potensi pemutusan hubungan kerja [PHK] yang lebih banyak di masa mendatang bahkan bengkaknya jumlah pengangguran,” pungkasnya.
Pada saat bersamaan, Indeks Ketersediaan Lapangan Kerja (IKLK) per Juni 2025 tercatat mencapai 94,1, atau berada di bawah ambang optimisme (100). Angka ini juga lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 95,7.
Ekspektasi penghasilan yang memburuk, lanjut Ibrahim, turut memperkuat sinyal bahwa masyarakat tidak melihat adanya perbaikan signifikan dalam prospek ekonomi keluarga. Hal ini semakin diperjelas dengan perubahan perilaku keuangan rumah tangga.
Kondisi ini mengindikasikan dua kemungkinan. Pertama, konsumsi meningkat secara terpaksa untuk memenuhi kebutuhan dasar di tengah pendapatan yang stagnan. Kedua, penurunan tabungan menunjukkan ruang fiskal rumah tangga yang menipis, hingga menyentuh dana darurat atau bahkan berutang untuk menutupi kebutuhan.