Royalti Potensi Naik
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral berencana untuk mengubah skema royalti bagi perusahaan tambang. Rencana perubahan ini diperkirakan akan berdampak ke kinerja emiten tambang, khususnya batu bara dan nikel.
Investment Analyst Stockbit Sekuritas Hendriko Gani menuturkan dalam rancangan tersebut, pemerintah akan menaikkan tarif royalti bagi sejumlah komoditas mineral seperti nikel, tembaga, hingga emas.
"Sementara itu, untuk komoditas batu bara, pemerintah berencana menyesuaikan tarif royalti dan penerimaan negara bukan pajak," tulis Hendriko dalam risetnya, Senin (10/3/2025).
Penyesuaian tersebut seperti untuk kontrak Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan kontrak PKP2B naik 1% untuk batu bara dengan kalori kurang dari 4.200 dan kalori lebih dari 4.200 sampai 5.200 ketika harga batu bara acuan (HBA) lebih dari US$90 per ton. Sementara itu, Penerimaan Hasil Tambang (PHT) untuk kalori dan HBA yang sama turun 1%.
Kemudian kontrak IUPK atau perpanjangan dari PKP2B akan mengalami rentang tarif yang diubah. Pemerintah juga berencana menyesuaikan tarif Pajak Penghasilan Badan (PPh) bagi perusahaan dengan kontrak IUPK dari 22% menjadi sesuai dengan peraturan di bidang pajak penghasilan.
Baca Juga
"Jika disahkan, kami menilai usulan ini berpotensi menekan kinerja emiten produsen batu bara yang beroperasi dengan izin IUP seperti Bukit Asam (PTBA) dan PKP2B seperti Indo Tambangraya Megah (ITMG)," kata Hendriko.
Sementara itu, Head of Marketing, Strategy, and Planning Kiwoom Sekuritas Oktavianus Audi melihat kenaikan tarif royalti komoditas minerba dikhawatirkan mendorong kenaikan beban operasional produsen tambang.
"Khususnya untuk batu bara dan nikel, kenaikan terakhir kali pada tahun 2022 dan jika kembali dinaikkan, maka dapat menekan operasional," kata Audi.
Terlebih sebelumnya, kata Audi, kebijakan aturan DHE yang menempatkan hasil ekspor 100% di dalam negeri minimal 12 bulan dan juga aturan harga batu bara acuan (HBA) sebagai harga ekspor batu bara cenderung meningkatkan beban untuk perusahaan.
Selain itu, kata Audi, perusahaan juga semakin tertekan di tengah koreksinya harga komoditas, baik batu bara maupun nikel.
"Kami memperkirakan stagnansi permintaan dari China dan India, hingga pengalihan energi baru terbarukan mendorong penurunan harga," ujar Audi.