Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Minyak Rebound dari Level Terendah September 2024

Harga minyak mentah menguat pada Selasa (11/3/2025) setelah indikator pasar menunjukkan bahwa penurunan tajam sebelumnya terlalu berlebihan.
Tangki penyimpanan minyak di Midland, Texas, AS, pada hari Kamis, 3 Oktober 2024./Bloomberg-Anthony Prieto
Tangki penyimpanan minyak di Midland, Texas, AS, pada hari Kamis, 3 Oktober 2024./Bloomberg-Anthony Prieto

Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah menguat pada Selasa (11/3/2025) setelah indikator pasar menunjukkan bahwa penurunan tajam sebelumnya terlalu berlebihan, mengesampingkan dampak potensi gencatan senjata sementara di Ukraina.

Melansir Bloomberg, Rabu (12/3/2025), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman April naik 0,3% menjadi US$66,25 per barel. Sementara itu, minyak mentah Brent untuk pengiriman Mei menguat 0,4% menjadi US$69,56 per barel.

WTI memulihkan diri dari level terendah dalam enam bulan terakhir usai Ukraina menyatakan kesiapannya menerima usulan gencatan senjata 30 hari dari AS dalam konflik dengan Rusia. Hal ini menimbulkan harapan bahwa minyak mentah Moskow dapat kembali mengalir tanpa hambatan dalam waktu dekat.

Pada Selasa, harga minyak tetap stabil meskipun kebijakan perdagangan agresif Presiden AS Donald Trump kembali mengguncang pasar global.

Meskipun pelemahan ekonomi dalam beberapa pekan terakhir menekan harga minyak berjangka, WTI tetap mempertahankan struktur bullish yang menjadi indikator utama keseimbangan pasokan dan permintaan jangka pendek.

Menurut analis Strategas Securities Jon Byrne, tren ini menunjukkan bahwa kekhawatiran terhadap minyak tidak sebesar ketakutan terhadap aset berisiko lainnya.

"Minyak mentah berpotensi mulai terlepas dari korelasi dengan aset berisiko lainnya dalam aksi jual kali ini," ujar Byrne seperti dilansir Bloomberg.

Dukungan tambahan terhadap harga minyak datang dari pernyataan Menteri Energi AS Chris Wright yang menegaskan bahwa pemerintahan Trump siap menegakkan sanksi terhadap produksi minyak Iran, meskipun akhirnya harga kembali terkoreksi.

Sejak mencapai puncaknya pada pertengahan Januari, harga minyak telah anjlok hampir 20% akibat ketidakpastian kebijakan perdagangan Trump serta pemangkasan belanja federal yang memperburuk prospek ekonomi AS.

Tekanan tambahan datang dari rencana OPEC+ untuk meningkatkan produksi serta melemahnya permintaan energi dari China.

Dalam konferensi industri energi di Houston, para petinggi perusahaan minyak dan gas terbesar—termasuk Chevron, Shell, dan Saudi Aramco—menyatakan dukungan penuh terhadap kebijakan energi Trump, yang berfokus pada dominasi produksi domestik.

Pedagang energi senior di CIBC Private Wealth Group Rebecca Babin mengatakan pasar saat ini berada dalam posisi yang cukup ringan, sehingga tidak butuh banyak faktor untuk menggerakkan harga.

"Menurut saya, ini hanya riak berita yang bisa memicu lonjakan jangka pendek. Namun, data ekonomi fundamental masih menunjukkan tekanan yang akan terus membebani harga minyak mentah dalam jangka panjang."

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper