Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak dunia terkoreksi pada perdagangan Selasa (22/10/2024) seiring dengan upaya AS untuk kembali mendorong gencatan senjata di Timur Tengah, dan karena lambatnya permintaan di China, importir minyak utama dunia, terus membebani pasar.
Mengutip Reuters, harga minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Desember turun 0,3% atau 26 sen, atau 0,3%, menjadi US$74,03 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS untuk pengiriman November turun 2 sen menjadi US$70,54 per barel.
Sebelumnya, baik harga Brent maupun WTI ditutup naik hampir 2% pada perdagangan Senin (21/110/2024) kemarin, memulihkan sebagian dari penurunan lebih dari 7% pada minggu lalu, tanpa adanya pertikaian di Timur Tengah dan pasar masih gelisah mengenai perkiraan pembalasan Israel terhadap Iran yang berpotensi menyebabkan gangguan pada pasokan.
Analis Komoditas Rakuten Securities, Satoru Yoshida, mengatakan, harga minyak mentah berfluktuasi sebagai respons terhadap beragam berita dari Timur Tengah, seiring situasi yang berubah-ubah antara eskalasi dan deeskalasi.
“Pasar diperkirakan akan naik jika ada tanda-tanda pemulihan ekonomi China yang lebih jelas, didukung oleh langkah-langkah stimulus Beijing dan perbaikan ekonomi AS setelah penurunan suku bunga,” katanya.
Namun, dia mengatakan kenaikan tersebut kemungkinan akan dibatasi oleh ketidakpastian yang terus-menerus mengenai prospek ekonomi global secara keseluruhan.
Baca Juga
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken berangkat ke Timur Tengah pada Senin waktu setempat untuk menghidupkan kembali perundingan guna mengakhiri perang Gaza dan meredakan konflik yang meluas di Lebanon.
Pasukan militer Israel mengepung rumah sakit dan tempat penampungan bagi para pengungsi di Jalur Gaza utara pada hari Senin ketika mereka meningkatkan operasi mereka, mencegah bantuan penting menjangkau warga sipil, kata warga dan petugas medis.
Sementara itu, China memangkas suku bunga pinjaman acuan seperti yang diantisipasi pada penetapan bulanan pada hari Senin, menyusul penurunan suku bunga kebijakan lainnya pada bulan lalu sebagai bagian dari paket langkah stimulus untuk menghidupkan kembali perekonomian.
Langkah ini dilakukan setelah data pada hari Jumat menunjukkan ekonomi China tumbuh pada laju paling lambat sejak awal tahun 2023 pada kuartal ketiga, sehingga memicu meningkatnya kekhawatiran terhadap permintaan minyak.
Pertumbuhan permintaan minyak China diperkirakan akan tetap lemah pada tahun 2025 meskipun ada langkah-langkah stimulus baru-baru ini dari Beijing karena negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini menggunakan listrik pada armada mobilnya dan tumbuh lebih lambat, kata kepala Badan Energi Internasional (IEA).
Namun, Saudi Aramco masih cukup bullish pada permintaan minyak China. Hal ini terutama mengingat paket stimulus pemerintah yang bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan.