Bisnis.com, JAKARTA — Emiten batu bara milik kongsi Grup Salim dan Bakrie, PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) tengah berupaya menekan biaya produksi untuk mengoptimalkan pendapatan dan laba bersih saat ini.
Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) Dileep Srivastava menargetkan BUMI bisa segera masuk ke dalam indeks LQ45.
Menurut Dileep, BUMI telah memenuhi sejumlah kriteria untuk bisa masuk ke dalam jajaran 45 emiten dengan kapitalisasi pasar tinggi di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Selain itu, kata Dileep, BUMI lebih dahulu masuk ke dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) small cap dan FTSE Global Equity untuk kategori yang sama.
“Jadi kita juga berharap suatu saat bisa masuk ke dalam indeks LQ45, kita punya kapitalisasi pasar, volume dan frekuensi perdagangan yang besar,” kata Dileep dalam webinar Indonesia Investment Education (IIE), Sabtu (24/8/2024).
Dileep berharap lewat upaya efisiensi itu bisa meningkatkan pendapatan dan laba bersih perseroan dalam jangka panjang nantinya.
Baca Juga
Rencanannya, lini bisnis batu bara BUMI bakal mengadopsi proses digital serta sejumlah upaya penurunan ongkos produksi lainnya.
“Kita ingin melihat seberapa efisien kita bisa dapat, dan bagaimana kita bisa menurunkan ongkos sekalipun harga jual batu bara turun, tetapi volume produksi cenderung naik,” tuturnya.
Kinerja BUMI
Berdasarakan data RTI Business, kapitalisasi pasar dari BUMI telah menyentuh di level Rp34,9 triliun pada penutupan perdagangan pekan ini.
Sementara harga saham BUMI telah menyentuh di angka Rp94 per lembar pada perdagangan, Jumat (23/8/2024). Kendati demikian, harga saham itu cenderung terkoreksi sebesar 1,05% sejak awal tahun ini.
Sebelumnya, emiten batu bara kongsi Grup Bakrie dan Salim itu mencatatkan kenaikan laba bersih sepanjang semester I/2024 meskipun pendapatan turun signifikan.
Menilik laporan keuangan, laba bersih BUMI tercatat sebesar US$84,91 juta atau sekitar Rp1,38 triliun (kurs jisdor Rp16.294 per dolar AS) pada semester I/2024.
Laba itu naik 3,76% secara year-on-year (yoy) dibandingkan semester I/2023 sebesar US$81,82 juta atau sekitar Rp1,33 triliun.
Kendati demikian, pendapatan perseroan justru turun 32,76% yoy menjadi US$595,84 juta, atau sekitar Rp9,70 triliun pada 6 bulan pertama 2024, dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar US$886,27 juta atau sekitar Rp14,44 triliun.
Sejalan dengan turunnya pendapatan, beban pokok BUMI ikut terpangkas 30,3% menjadi US$542,1 juta dibandingkan periode sama 2023 sebesar US$777,61 juta.
Alhasil, laba bruto BUMI turun 50,5% menjadi US$53,74 juta, dibandingkan semester I/2023 sebesar US$108,65 juta. Adapun, kas dan setara kas pada akhir periode BUMI tercatat sebesar US$55,77 juta, atau turun dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar US$87,21 juta.
Berdasarkan neraca, total aset BUMI tercatat sebesar US$4,21 miliar pada akhir Juni 2024, dibandingkan posisi akhir Desember 2023 sebesar US$4,20 miliar.
Liabilitas perseroan sebesar US$1,34 miliar, dibandingkan akhir 2023 sebesar US$1,42 miliar. Sementara itu ekuitas BUMI sebesar US$2,86 miliar, dibandingkan posisi 2023 US$2,77 miliar.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.