Bisnis.com, JAKARTA - Sebagaimana diketahui, International Monetary Funds (IMF) baru saja memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2024 mencapai 3,2%, lebih tinggi dari prakiraan sebelumnya hanya 2,9%.
Perbaikan kinerja ekonomi global didorong oleh membaiknya ekonomi China dan India serta kuatnya pertumbuhan di Amerika Serikat yang ditopang oleh permintaan domestik.
Perbaikan kinerja ekonomi negara maju dan negara berkembang dapat memberikan harapan baru bagi pemulihan ekonomi global secara berkesinambungan.
Namun, agresi Israel ke negara Palestina yang meluas ke Lebanon, dan perang yang masih berlangsung di Ukraina berpotensi memberikan tambahan tekanan terhadap disrupsi rantai pasok pupuk, pangan, energi, dan biaya transportasi sehingga memicu volatilitas harga komoditas. IMF menyatakan, ketegangan geopolitik disinyalir menghambat disinflasi yang pada akhirnya memengaruhi variasi kecepatan penurunan suku bunga kebijakan bank sentral di berbagai belahan dunia.
Variasi kecepatan penurunan suku bunga kebijakan terkonfirmasi dari siaran pers Hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Juni 2024 yang menyatakan bahwa European Central Bank (ECB) telah menurunkan suku bunga kebijakan lebih cepat sejalan dengan rendahnya tekanan inflasi, sedangkan Fed Fund Rate (FFR) diprakirakan akan turun pada akhir 2024. Kecepatan penurunan suku bunga kebijakan yang bervariasi akan mendorong ketidakpastian di pasar keuangan global.
Adanya situasi yang penuh ketidakpastian, investor akan mengalihkan asetnya pada instrumen keuangan yang aman atau safe haven antara lain mata uang dolar AS dan obligasi pemerintah AS yang pada akhirnya mendorong penguatan nilai tukar dolar AS dan meningkatnya pelemahan nilai tukar di berbagai mata uang dunia.
Baca Juga
Bank Indonesia mencatat, hingga 19 Juni 2024, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi 5,92% dibandingkan Desember 2023. Meskipun demikian, pada periode yang sama, nilai tukar rupiah masih jauh lebih baik kinerjanya dibandingkan won, bath, peso, real dan yen yang mengalami depresiasi lebih dalam terhadap dolar AS masing-masing 6,78%, 6,92%, 7,89%, 10,63% dan 10,78%.
Fakta tersebut menegaskan bahwa fenomena strong dolar saat ini sedang terjadi dan berdampak terhadap depresiasi nilai tukar mata uang di berbagai dunia.
Strategi Mitigasi
Sebagai langkah nyata dalam meredam dampak rambatan dari kondisi ketidakpastian keuangan global, Bank Indonesia bersama Pemerintah dan dunia usaha telah mengimplementasikan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2023 tentang penempatan valas Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA).
Berdasarkan konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur bulan Juni 2024, DHE SDA yang ditempatkan di Bank Indonesia mencapai US$1,73 miliar pada Juni 2024 dan masih banyak korporasi yang menempatkan valas hasil DHE SDA di rekening khusus perbankan.
Selain itu, Bank Indonesia konsisten untuk mengoptimalkan instrumen moneter pro-market antara lain Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valuta Asing Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valuta Asing Bank Indonesia (SUVBI). Ketiga instrumen moneter tersebut merupakan trigger bagi masuknya modal dari luar negeri ke sistem keuangan nasional sehingga dapat berkontribusi langsung dalam penguatan nilai rupiah.
Bank Indonesia mencatat, posisi instrumen SRBI, SVBI dan SUVBI tercatat masing-masing sebesar Rp666,53 triliun, US$2.301,50 juta dan US$395 juta pada 14 Juni 2024. Penerbitan surat berharga tersebut menegaskan bahwa Bank Indonesia selalu hadir di pasar untuk melakukan stabilisasi nilai rupiah di tengah kondisi keuangan dunia yang penuh ketidakpastian.
Dalam rangka memperkuat pengelolaan sumber pendanaan luar negeri bank jangka pendek, Bank Indonesia telah melakukan inovasi instrumen makroprudensial berupa penetapan kebijakan Rasio Pendanaan Luar Negeri Bank (RPLN).
Ketentuan yang akan efektif berlaku pada 1 Agustus 2024 ini akan mengatur batas maksimum kewajiban luar negeri jangka pendek terhadap modal bank yang disesuaikan dengan besaran parameter kontrasiklikal, misalnya penetapan RPLN sebesar 30% dengan parameter kontrasiklikal 0% berdasarkan asesmen Bank Indonesia yang akan direviu secara berkala.
Pada akhirnya, sinergi kebijakan moneter dan fiskal yang telah diformulasikan secara komprehensif perlu didukung oleh langkah diplomasi yang proaktif dalam menurunkan ketegangan yang dipicu oleh konflik geopolitik dan agresi militer.
Kebijakan luar negeri Indonesia yang bebas aktif menjadi sangat strategis di forum organisasi internasional dalam upaya mendorong perdamaian sehingga tidak terjadi eskalasi konflik secara berkepanjangan di seluruh dunia. Semoga ikhtiar maksimal dari seluruh pemangku kebijakan dapat berbuah manis dalam mewujudkan stabilitas nilai rupiah sehingga perekonomian nasional dapat tumbuh kuat, inklusif dan berkesinambungan.