Bisnis.com, JAKARTA — Pergerakan harga kopi diprediksi masih akan terus mengalami kenaikan hingga pertengahan 2025.
Ramalan kenaikan harga kopi itu sejalan dengan kelangkaan pasokan dari para produsen utama. Pelanggan di Eropa akan membayar lebih banyak lagi untuk kafein yang mereka konsumsi sejalan dengan berlakunya peraturan baru mengenai deforestasi.
“Perkiraan akan kembali terjadinya kekurangan produksi di Vietnam, yang merupakan produsen utama kopi robusta di dunia, memicu lonjakan harga berbagai jenis biji kopi yang digunakan dalam campuran kopi dan espresso,” ujar Ketua Luigi Lavazza SpA Giuseppe Lavazza dilansir dari Bloomberg, Rabu (10/7/2024).
Lavazza mengungkapkan kondisi panen yang buruk menyebabkan para roaster harus membayar US$1.000 di atas harga berjangka untuk biji kopi Vietnam. Kondisi itu belum pernah terjadi dalam sejarah industri kopi.
“Dan yang sangat istimewa adalah efek jangka panjangnya,” jelasnya.
Riset Tuan Loc Commodities, lembaga yang berbasis di Ho Chi Minh, Vietnam sebelumnya menunjukkan bahwa secara keseluruhan, daerah penghasil kopi dilanda cuaca panas dan kondisi yang kering. Hal itu tentu sangat memengaruhi kuantitas dan kualitas produksi kopi.
Baca Juga
"Meskipun kita masih berada di musim kemarau dan cuaca ini tidak terduga, patut dicatat bahwa curah hujan berada pada kisaran terendah dalam rentang 10 tahun, dan suhu berada pada sisi yang lebih tinggi," tertulis dalam riset Tuan Loc Commodities.
Turunnya produksi kopi Vietnam mendorong lonjakan harga kontrak berjangka robusta di bursa komoditas London, yakni naik lebih dari 50% tahun lalu, dan kini mencapai level tertinggi sejak 2008.
Asosiasi kopi Vietnam memperkirakan bahwa ekspor kopi robusta negara tersebut pada kurun Januari 2024 —September 2024 diperkirakan akan turun 20% dari periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Januari—September 2023 dengan ekspor 1,67 juta ton.
Ketua asosiasi kopi Vietnam Nguyen Nam Hai menjelaskan bahwa dalam panen terakhir, ekspor robusta Vietnam tercatat sudah turun 20% dibandingkan dengan tahun lalu yang mampu mencapai 1,84 juta ton.
Penurunan ekspor pada November 2023 tercatat mencapai 10%. Penurunan yang lebih besar saat ini mencerminkan dampak krisis iklim yang serius bagi produksi kopi, kurangnya investasi, maupun petani yang akhirnya memutuskan untuk menanam tanaman lain.
Hai menjelaskan bahwa peralihan petani dalam menanam tanaman lain berdampak lebih besar terhadap produksi kopi robusta di Vietnam. Para petani melirik tanaman alternatif seperti durian, alpukat, dan markisa karena kebutuhan air yang memadai juga hasil panen yang lebih masuk perhitungan.
"Persediaan [kopi] di petani dan agen pembeli tidak banyak," ujarnya, dilansir dari Bloomberg pada Rabu (27/3/2024).
The International Coffee Organization (ICO) melaporkan harga grosir kopi robusta telah naik 17% selama April 2024. Kenaikan itu menjadi yang terbesar sejak 1979.
“Vietnam — produsen kopi robusta terbesar di dunia - terus menghadapi kesulitan pasokan setelah gagal panen pada musim lalu dan saat ini,” tulis ICO dilansir dari Bloomberg, Senin (6/5/2024).
Kondisi itu berisiko memburuk seiring dengan kekeringan dan panas yang melanda Vietnam. Selain itu, menipisnya pasokan air untuk irigasi membatasi prospek panen pada 2024.
Dalam laporan Bisnis sebelumnya, gelombang panas telah menjadi ancaman yang serius bagi Vietnam, sebagai eksportir utama kopi robusta. Gelombang panas dan kekeringan membuat produksi kopi menurun, sehingga kapasitas ekspornya pun terjungkal.