Bisnis.com, JAKARTA – Keterlambatan transformasi hingga kegagalan dalam menjalankan tata kelola dinilai berisiko menjadi bencana Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dampaknya, perusahaan menjadi ‘sakit-sakitan’ hingga bisa terancam dibubarkan.
Toto Pranoto, Associate Director BUMN Research Group Lembaga Management Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia (UI), menyampaikan bahwa fenomena BUMN sakit dan merugi ini sudah menjadi cerita lama.
Menurutnya, penyebab paling utama adalah kemunduran perusahaan pelat merah lantaran terlambat melakukan transformasi bisnis sehingga daya saing merosot tajam.
“Sebab lainnya adalah juga karena faktor tata kelola yang buruk sehingga potensi terjadinya korupsi dan mismanagement menjadi terbuka,” ujarnya kepada Bisnis, Rabu (26/6/2024).
Toto juga memandang penyebab lain yang membuat BUMN merugi adalah penugasan pemerintah yang berlebihan, tetapi minim injeksi modal. Seluruh hal tersebut saling berkelindan sehingga menjadi malapetaka bagi perusahaan pelat merah.
Dia menyatakan untuk kasus di PT Indah Karya (Persero) dan BUMN galangan kapal, disebabkan ketidakmampuan dan keterlambatan perusahaan dalam memacu transformasi bisnis. Akibatnya, dalam jangka panjang, BUMN tersebut kehilangan daya saing.
Baca Juga
“Saya mendukung usulan penutupan atau likuidasi BUMN yang secara kesehatan finansial sudah buruk dan prospek bisnis sudah redup karena terlalu banyak kompetitor. Artinya, ke depan Indonesia akan punya sedikit BUMN tapi dengan kesehatan dan daya saing lebih kuat,” ujarnya.
Dalam pemberitaan Bisnis sebelumnya, Direktur Utama Danareksa Yadi Jaya Ruchandi mengungkapkan ada enam BUMN yang terancam dibubarkan. Hal itu disampaikan dalam rapat panja dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta, Senin (24/6/2024).
Dia menjelaskan bahwa saat ini ada 14 BUMN sakit dengan status titip kelola yang kini sedang ditangani PT Perusahaan Pengelola Aset (Persero). Dari jumlah itu, sebanyak enam perusahaan masuk dalam kategori potensi beroperasi minimum atau berisiko dibubarkan.
Keenam perusahaan tersebut adalah PT Indah Karya (Persero), PT Dok Dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Amarta Karya (Persero), PT Barata Indonesia (Persero), PT Varuna Tirta Prakasya (Persero), dan PT Semen Kupang.
“Kami inginnya halus menyampaikannya, tetapi jika membaca yang tersirat, yang potensi beroperasi minimum itu sebetulnya lebih dari mungkin akan kami setop. Apakah nanti lewat likuidasi atau pembubaran BUMN, sebetulnya ke sana ujungnya,” ujarnya.
Dia menjelaskan perusahaan di kategori potensi operasi minimum berfokus pada penyelesaian utang-utang di masa lalu melalui penjualan aset. Contohnya, Indah Karya yang saat ini sedang proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Sementara itu, terkait dengan Barata Indonesia, Yadi menjelaskan bahwa PKPU perseroan sejatinya sudah selesai. Namun, kondisi perusahaan tidak mengalami perubahan signifikan, bahkan ada masih ada utang-utang yang masuk setelah PKPU rampung.
Di sisi lain, dari 14 perusahaan pelat merah bermasalah, hanya ada empat BUMN yang berpeluang sehat. Mereka adalah PT Persero Batam, PT Boma Bisma Indra (Persero), PT Dok dan Perkapalan Kodja Bahari (Persero) dan PT Industri Kapal Indonesia.