Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Rp16.400 per Dolar AS, Bos BI: Pelemahan Lebih Rendah dari Won dan Baht Cs

Gubernur BI Perry Warjiyo menyebutkan pelemahan rupiah masih lebih rendah ketimbang mata uang lain, seperti won, baht, dan yen.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Deputi Gubernur Doni Primanto Joewono memberikan pemaparan dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Rabu (22/5/2024). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Mei 2024 memutuskan menahan suku bunga acuan BI rate di level 6,25%. JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (tengah) didampingi Deputi Gubernur Senior Destry Damayanti (kanan) dan Deputi Gubernur Doni Primanto Joewono memberikan pemaparan dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) di Jakarta, Rabu (22/5/2024). Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 21-22 Mei 2024 memutuskan menahan suku bunga acuan BI rate di level 6,25%. JIBI/Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah mengalami tren pelemahan hingga tembus Rp16.400 per dolar Amerika Serikat (AS). Namun, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menilai rupiah tetap lebih baik dari sejumlah mata uang negara lainnya seperti Won, Baht, hingga Yen.

Berdasarkan data Bloomberg, rupiah membuka perdagangan hari ini, Kamis (20/6/2024) dengan turun 0,16% atau 26 poin ke posisi Rp16.391 per dolar AS. Sementara itu, indeks dolar terpantau naik 0,01% ke posisi 104,890. 

Perry mengatakan stabilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga sesuai dengan komitmen kebijakan yang ditempuh BI. Nilai tukar rupiah hingga 19 Juni 2024 terjaga, meski sempat tertekan 0,70% (ptp), setelah pada Mei 2024 menguat 0,06% (ptp) dibandingkan dengan nilai tukar akhir bulan sebelumnya.

Pelemahan nilai tukar rupiah tersebut dipengaruhi oleh dampak tingginya ketidakpastian pasar global, terutama berkaitan dengan ketidakpastian arah penurunan Fed Fund Rate (FFR), penguatan mata uang dolar AS secara luas, dan masih tingginya ketegangan geopolitik. 

Dari faktor domestik, tekanan pada rupiah juga disebabkan oleh kenaikan permintaan valuta asing (valas) oleh korporasi, termasuk untuk repatriasi dividen, serta persepsi terhadap kesinambungan fiskal ke depan.

Dengan perkembangan tersebut, nilai tukar rupiah juga melemah 5,92% dari level akhir Desember 2023. Namun, pelemahan nilai tukar rupiah menurutnya lebih baik dibandingkan dengan nilai tukar mata uang negara lain.

"Pelemahan rupiah lebih rendah dibandingkan dengan pelemahan Won Korea, Baht Thailand, Peso Meksiko, Real Brasil, dan Yen Jepang masing-masing sebesar 6,78%, 6,92%, 7,89%, 10,63%, dan 10,78%," ujar Perry dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Kamis (20/6/2024).

Menurutnya, ke depan, nilai tukar rupiah akan bergerak stabil sesuai dengan komitmen BI untuk terus menstabilkan nilai tukar rupiah, serta didukung oleh aliran masuk modal asing, menariknya imbal hasil, rendahnya inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tetap baik. 

Sebelumnya, tim riset NH Korindo Sekuritas menyebutkan nilai tukar rupiah ambruk beberapa waktu terakhir seiring dengan menguatnya dolar AS dan Uni Eropa yang mengumumkan tarif tinggi antara 17% hingga 30% untuk impor komponen mobil listrik China. 

Tim riset NH Korindo Sekuritas menjelaskan jika Uni Eropa mewakili pasar utama bagi produsen kendaraan listrik China. Sementara itu bukan tidak mungkin China akan mengumumkan tindakan balasan dalam perang dagang ini. 

Adapun dari Indonesia, data neraca dagang dan keputusan Bank Indonesia dalam suku bunga akan menjadi perhatian pasar. Pelaku pasar akan memantau pertumbuhan ekspor impor di Indonesia. 

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan nilai tukar rupiah berkisar antara Rp15.900 - Rp16.300 per dolar AS pada akhir tahun 2024.

Lebih lanjut, Josua melihat bahwa BI akan terus berupaya untuk menjaga stabilitas dengan menjaga spread positif dari instrumen keuangan domestik Indonesia, oleh karena itu BI baru akan menurunkan suku bunga setelah The Fed menurunkan FFR terlebih dahulu. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper