Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) mengungkapkan potensi penjualan SBN ritel Savings Bond Ritel seri SBR013 yang meluncur hari ini, Senin (10/6/2024) dapat menembus hingga Rp20 triliun sampai akhir masa penawaran.
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan mengatakan, pada saat awal penerbitan SBR013, pemerintah mematok target penjualan awal sebesar Rp15 triliun. Namun, jika minat masyarakat tinggi, maka tidak menutup kemungkinan pemerintah akan menambah kuota SBR013.
"Kami akan memperhatikan juga minat dari masyarakat, kalau memang tinggi minatnya, kami punya spare alokasi untuk bisa di upsize hingga Rp20 triliun. Jadi mungkin target antara Rp15 triliun-Rp20 triliun," ujar Deni kepada wartawan dalam acara Peluncuran SBR013 di Jakarta, Senin (10/6/2024).
Lebih lanjut dia mengatakan, sejak pandemi Covid-19, tingkat kesadaran masyarakat dalam berinvestasi meningkat cukup tinggi untuk menghadapi kondisi-kondisi tak terduga. Sejalan dengan hal tersebut, realisasi investasi di instrumen SBN ritel pun terus bertumbuh setiap tahunnya.
Sebagai pengingat, pada 2022 lalu realisasi penerbitan SBN ritel tembus Rp107 triliun, jumlah itu meningkat sekitar 37,8% secara year-on-year (YoY) menjadi Rp147,42 triliun pada 2023. Sementara itu, pada 2024, Kemenkeu mematok target penerbitan SBN ritel berkisar Rp140 triliun-Rp160 triliun.
Kendati demikian, dia juga mengungkap tantangan untuk penerbitan SBN ritel. Misalnya, dari faktor global, Kemenkeu mencermati potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang dapat mempengaruhi kemampuan investasi masyarakat.
Baca Juga
"Karena itu akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di berbagai negara, termasuk Indonesia, meskipun ekonomi Indonesia masih diprediksi bisa tumbuh di atas 5%. Tapi ini tentu menjadi sesuatu yang kami cermati, perlambatan ekonomi akan mempengaruhi alokasi investasi masyarakat."
Sejauh ini, Bank Sentral AS Federal Reserve (The Fed) masih menahan suku bunga di kisaran 5,25%-5,5%. Sementara itu, suku bunga Bank Indonesia (BI) ada di level 6.25%.
Beralih ke sentimen domestik, peluncuran SBR013 bertepatan dengan masuknya tahun ajaran baru, sehingga ada risiko aliran dana investasi masyarakat tertahan untuk kebutuhan membayar uang sekolah. Namun, Deni tetap optimistis bahwa penjualan SBR013 masih akan mendapatkan antusiasme tinggi dari masyarakat.
"SBR013, secara pattern, meskipun terbit di bulan Juni-Juli, minat masyarakat tetap tinggi. Artinya masyarakat sudah bisa mulai menentukan mana kebutuhan uang sekolah, dan lain-lain. Sejauh ini respons masyarakat masih cukup baik," pungkas Deni.
Adapun, DJPPR Kemenkeu resmi meluncurkan SBN ritel Savings Bond Ritel seri SBR013 pada hari ini, Senin (10/6/2024) pukul 09.00 WIB. Kuota penawaran awal ditetapkan sebesar Rp15 triliun.
Perlu diketahui, DJPPR Kemenkeu meluncurkan SBR013 dalam dua tenor yakni SBR013-T2 tenor 2 tahun dengan kupon 6,45%, dan SBR013-T4 tenor 4 tahun dengan kupon 6,60% per tahun. Periode penawaran berlangsung pada 10 Juni hingga 4 Juli 2024.
Jenis kupon SBR013 adalah floating with floor, artinya, jika suku bunga acuan BI naik, maka kupon SBR013 berpotensi ikut naik, sedangkan jika suku bunga BI turun, maka kupon SBR013 tidak akan turun lebih rendah dari batas minimal.
Investor dapat memborong SBR013 dengan nilai minimum pemesanan sebesar Rp1 juta. Sementara itu, maksimum pemesanannya sebesar Rp5 miliar untuk SBR013-T2 dan Rp10 miliar untuk SBR013-T4.
SBR013 memiliki karakteristik tanpa warkat, tidak dapat diperdagangkan di pasar sekunder, dan tidak dapat dicairkan sampai dengan jatuh tempo, kecuali pada masa pelunasan sebelum jatuh tempo (early redemption). Nilai maksimal early redemption sebesar 50% dari setiap transaksi pembelian.
Sebagai perbandingan, pada seri sebelumnya yaitu SBR012 yang ditawarkan pada 19 Januari-9 Februari 2023, penjualan SBR012 tembus Rp22,18 triliun dari kedua seri. Secara terperinci, SBR012-T2 tenor 2 tahun mencatatkan penjualan sebesar Rp16,73 triliun, sedangkan SBR012-T4 tenor 4 tahun terjual sebesar Rp5,54 triliun.