Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah dibuka turun setelah libur panjang ke posisi Rp16.030 per dolar AS, Senin (27/5/2024).
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah membuka perdagangan awal pekan dengan melemah 0,22% atau 35 poin ke posisi Rp16.030 per dolar AS. Sementara itu indeks dolar terpantau melemah 0,03% ke level 104,61.
Sejumlah mata uang kawasan Asia lainnya bergerak bervariasi cenderung naik terhadap dolar AS pagi ini. Yen Jepang menguat 0,15%, dolar Hong Kong dan dolar Singapura kompak menguat 0,02% dan 0,05%.
Kemudian won Korea naik 0,25%, peso Filipina naik 0,20%, rupee India naik 0,22%, ringgit Malaysia naik 0,10% dan baht Thailand menguat 0,23%. Hanya yuan China yang turun 0,01%.
Sebelumnya Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memproyeksikan mata uang rupiah fluktuatif namun ditutup menguat di rentang Rp15.950 - Rp16.040 per dolar AS pada perdagangan hari ini, Senin (27/5/2024).
Hal tersebut didasari oleh kebijakan Bank Indonesia (BI) menahan suku bunga acuan di level 6,25% pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode 21-22 Mei 2024.
Baca Juga
Menurut Ibrahim, kebijakan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025.
Dari sisi eksternal, risalah pertemuan The Fed pada akhir bulan April, yang akan dirilis pada hari Rabu, kini menjadi fokus untuk mendapatkan lebih banyak isyarat dari bank sentral. The Fed telah mempertahankan suku bunga tetap stabil selama pertemuan tersebut, sementara Ketua The Fed Jerome Powell masih mengisyaratkan kemungkinan penurunan suku bunga pada tahun 2024.
Para pedagang akan menunggu untuk melihat apakah hal ini akan terjadi di antara semua pejabat The Fed, terutama karena inflasi yang masih stabil. Sejumlah pejabat Fed memperingatkan minggu ini bahwa bank sentral memerlukan lebih banyak keyakinan bahwa inflasi akan turun, sebelum dapat mulai memangkas suku bunga.
“Komentar mereka mendukung greenback dan menekan sebagian besar aset berisiko tinggi dan tidak memberikan imbal hasil,” kata Ibrahim dalam riset harian.