Bisnis.com, JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk mengerek batas bawah pajak hiburan menjadi 40% dan batas atas sebesar 75% diperkirakan memberi dampak negatif terhadap emiten pasar modal, di antaranya emiten bar dan minuman alkohol.
Adapun ketentuan tersebut berlaku untuk kategori tertentu, seperti diskotek, karaoke, malam, bar, dan mandi uap/spa. Meski demikian, pemerintah menggelontorkan sejumlah insentif salah satunya dalam bentuk diskon Pajak Penghasilan (PPh) Badan sebesar 10%.
Selain itu, pemerintah daerah (pemda) juga diinstruksikan menambah insentif kepada dunia usaha di sektor pariwisata, khususnya hiburan dengan dalih untuk mendukung dunia usaha.
Terkait hal tersebut, Presiden Direktur Kiwoom Sekuritas Indonesia Changkun Shin menyampaikan bahwa kenaikan batas bawah pajak hiburan akan memberikan dampak negatif terhadap emiten bar dan minuman keras (miras).
Sebaliknya, untuk jasa perhotelan, jasa kesenian, dan hiburan diperkirakan tidak akan berdampak karena tarif paling tinggi ditetapkan menjadi 10% dari sebelumnya sebesar 35%.
“Hal itu masih akan menopang kinerja emiten perhotelan. Di sisi lain, emiten hiburan pada diskotek, kelab malam dan bar akan membebankan pendapatan pada emiten miras karena merupakan kontribusi pendapatan terbesar pada segmen tersebut,” ujarnya, Rabu (24/1/2024).
Baca Juga
Shin menambahkan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kunjungan wisatawan mancanegara di Indonesia mencapai 917.000 per November 2023. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 30,17% year-on-year (YoY).
Sejalan dengan hal itu, industri pariwisata Indonesia terus tumbuh pesat dengan penerimaan devisa mencapai US$6,08 miliar pada Semester I/2023 berdasarkan data Kemenparekraf RI.
“Kami melihat ini merupakan keberlanjutan pemulihan pasca Covid-19, dan adanya penyesuaian tarif batas bawah yang lebih rendah diperkirakan akan memberikan sentimen positif untuk perhotelan. Meski demikian, kami saat ini masih netral terhadap emiten perhotelan,” tuturnya.
Sebelumnya, Kepala BEI Yogyakarta Irfan Noor Riza menilai emiten yang punya bisnis klub malam, karaoke, hingga minuman beralkohol akan terdampak secara negatif.
Dampak tersebut akan tecermin dari peluang penurunan omzet hingga menurunkan harga saham emiten tersebut. Selain itu, aturan pajak hiburan juga dapat membuat minat investor di sektor tersebut menurun.
“Beberapa emiten nasional yang bergerak dibidang hiburan khusus tersebut memang berpotensi mengalami dampak negatif jika wacana kenaikan pajak hiburan tersebut benar-benar diberlakukan,” ujarnya pekan lalu.
Di sisi lain, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menegaskan batas bawah tarif pajak hiburan 40% tidak ditunda dan tetap berlaku dengan beberapa ketentuan.
Airlangga menekankan UU No. 28/2009 dicabut dan digantikan dengan UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Dengan demikian, pengusaha tetap harus menjalankan aturan sesuai batas bawah 40% dan maksimal 75%.
Kendati demikian, dia menyatakan bahwa perlu digarisbawahi, pemerintah juga memberikan ruang bagi kepala daerah untuk memberikan insentif berupa pengurangan tarif pajak.
“Sudah ada UU HKPD. UU HKPD yang berlaku, tapi di situ ada Pasal 101, diberikan diskresi kepada kepala daerah untuk memberikan insentif,” ungkapnya pada Senin (22/1/2024).