Bisnis.com, JAKARTA - Penerbitan obligasi korporasi di Indonesia pada 2024 masih dibayangi sentimen risiko gagal bayar, terutama dari emiten konstruksi BUMN, PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk. (WIKA).
Mengacu pada data dari Fitch Ratings, total gagal bayar obligasi korporasi di Indonesia hingga November 2023 mencapai Rp5,6 triliun yang sebagian berasal dari WSKT.
Selain itu, WIKA juga mengalami gagal bayar sukuk Rp184 miliar dan obligasi korporasi senilai Rp331 miliar pada Desember 2023. Risiko gagal bayar diperkirakan masih ada, karena WIKA memiliki sukuk dan obligasi jatuh tempo senilai Rp1,5 triliun pada 2024.
Fitch Ratings meyakini tingkat gagal bayar obligasi korporasi dalam negeri pada tahun 2024 akan bergantung pada kemampuan WIKA untuk memenuhi kewajiban pembayaran obligasi dan sukuknya.
Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi mengatakan, risiko gagal bayar obligasi korporasi masih cukup tinggi, terutama dari emiten konstruksi pelat merah, sehingga investor cenderung menghindari sektor konstruksi.
"Saat ini risiko gagal bayar masih cukup tinggi di 2024, terutama dari BUMN Karya, sehingga obligasi sektor konstruksi agak dihindari investor kecuali ada jaminan pemerintah," ujar Lionel kepada Bisnis, dikutip Minggu, (14/1/2024).
Baca Juga
Lebih lanjut dia mengatakan, dari segi sektor, yang banyak melakukan penerbitan di 2024 adalah perbankan dan multifinance. Tak hanya itu, menurutnya sektor kertas dan pulp juga menjadi pilihan menarik karena penerbitnya memiliki rasio utang yang rendah.
Di lain sisi, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, risiko gagal bayar pada 2024 seharusnya bisa lebih rendah mengingat perekonomian yang terus pulih dan tumbuh positif.
"Sehingga akan membantu peningkatan earnings dari para penerbit obligasi dan tekanan kenaikan suku bunga yang relatif sudah melewati puncaknya sehingga secara gradual akan menurunkan beban bunga bagi para pelaku usaha," kata Josua kepada Bisnis.
Namun demikian, menurutnya terdapat beberapa sektor yang kemungkinan akan berada dalam tekanan, terutama sektor-sektor yang terkait dengan pasar ekspor luar negeri dan komoditas, sejalan dengan ekspektasi perlambatan ekonomi global dan juga penurunan harga komoditas.
Josua mengatakan, seleksi sektor dapat mengurangi risiko gagal bayar pada tahun ini. Sektor-sektor yang mengandalkan perekonomian domestik diperkirakan akan lebih resilien dibandingkan dengan sektor-sektor yang bergantung kepada pasar ekspor atau ekonomi global.
"Selain itu, tentu fundamental keuangan dari perusahaan juga harus diperhatikan. Dari sisi tenor, sejalan dengan ekspektasi suku bunga yang diperkirakan mulai akan menurun pada semester II/2024, investor dapat secara gradual memperpanjang durasi agar potensi peningkatan return menjadi lebih tinggi," pungkas Josua.
Adapun, Fitch Ratings memproyeksikan penerbitan obligasi korporasi non-keuangan dalam negeri akan pulih pada tahun 2024 setelah turun di bawah Rp65 triliun pada tahun 2023, dari puncaknya pada tahun 2022 sekitar Rp100 triliun.
Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.