Bisnis.com, JAKARTA – Kilau harga emas meredup setelah mencapai posisi tertinggi di level US$2.137,25 per ons karena investor memangkas ekspektasi terkait kebijakan suku bunga The Fed.
Analisis dari Deu Calion Futures (DCFX) Andrew Fischer menyebutkan harga emas mencapai rekor tertinggi baru di awal sesi Asia kemarin, Senin (4/12/2023). Hal itu didorong oleh meningkatnya kepercayaan terhadap pemotongan suku bunga setelah komentar Ketua Fed Jerome Powell pada hari Jumat.
Harga emas berjangka turun 4,14% menjadi US$2.047,55 per ons pada penutupan Senin, setelah mencapai level tertinggi sebelumnya di US$2.137,25 per ons menurut data Investing.com. Sementara itu, harga emas spot juga mengalami penurunan tajam sebesar 4,16% menjadi US$2.029,47 per ons setelah menyentuh level tertinggi sebelumnya di US$2.120,20 per ons.
Federal Reserve tampaknya berada di jalur untuk mengakhiri kebijakan hawkish terkait suku bunga. Namun, tantangan yang muncul adalah kapan dan bagaimana memberi sinyal pemangkasan suku bunga.
Peningkatan indeks dolar sebesar 0,5% menjadi faktor penting yang menekan harga emas, membuatnya lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya. Begitu pula, yield obligasi Treasury AS dengan tenor 10 tahun juga mengalami kenaikan.
Para investor kini melihat peluang penurunan suku bunga pada bulan Maret sebesar 57%, turun dari 63% pada hari Jumat sebelumnya. Suku bunga yang lebih rendah diharapkan dapat mengurangi biaya untuk memiliki emas.
Baca Juga
Data minggu lalu menunjukkan adanya penurunan tekanan inflasi dan pasar tenaga kerja yang berangsur-angsur mereda. Hal itu memperkuat spekulasi mengenai pemotongan suku bunga lebih awal. Dalam konteks ini, pasar emas terus memantau perkembangan dan sinyal dari Federal Reserve untuk mengantisipasi arah selanjutnya dari harga emas.
Dalam analisanya Fiischer memperkirakan bahwa, emas (XAUUSD) cenderung mengalami penurunan dalam jangka pendek. Hal itu dapat menciptakan anomali di pasar yang sebelumnya bergerak cukup tinggi. Namun, dia juga menegaskan bahwa setelah fase penurunan ini, emas kemungkinan akan melanjutkan tren kenaikan.
Menurut Fischer, kenaikan signifikan harga emas sebelumnya disebabkan oleh meningkatnya ketegangan di Timur Tengah, yang tampaknya mulai memudar. Selain itu, imbal hasil obligasi AS mengalami penurunan cukup tinggi, menjadi fokus perhatian pelaku pasar. Penurunan ini memberikan dorongan pada harga emas, namun, dengan kondisi saat ini, Fischer memperkirakan penurunan XAUUSD dalam jangka pendek.
Andrew Fischer menekankan bahwa pasar emas saat ini sangat responsif terhadap berita ekonomi dan geopolitik. Prediksinya mengindikasikan bahwa meskipun ada penurunan jangka pendek, emas kemungkinan akan pulih setelah itu, terutama jika kondisi ekonomi dan politik AS terus menunjukkan ketidakpastian.
Secara teknikal, analis Kitco Jim Wyckoff mengatakan, harga emas berjangka mengalami aksi jual yang tajam dan mencatat "key reversal” bearish secara pada grafik harian.
“Ini adalah salah satu petunjuk grafik bahwa sentimen bullish telah kehabisan bahan bakar dan bahwa puncak pasar jangka pendek telah terjadi,” tulis Wyckoff seperti dikutip Kitco News.
Di sisi lain, di amengatakan sentimen bullish masih memiliki keunggulan teknikal jangka pendek secara keseluruhan. Harga berada dalam tren naik selama dua bulan pada grafik harian.
Wyckoff mengatakan target harga bullish berikutnya adalah penutupan di atas level resisten pada rekor tertinggi di US$2,152.30. Di sisi lain, target harga bearish berikutnya berada di bawah support teknis yang solid di US$2.000,00.
”Resisten pertama terlihat di US$2.075,00 dan kemudian di level tertinggi minggu lalu di US$2.095,70. Support pertama terlihat di US$2,030.00 dan kemudian di US$2,015.00,” pungkasnya.
Sementara itu, analis pasar senior Oanda Asia Pacific Pte Ltd mengatakan penurunan tajam harga emas setelah mencapai level tertinggi lebih didorong oleh order stop loss. Dia juga mengingatkan adanya tren penurunan jangka pendek.
Di sisi lain, harga emas telah didukung oleh beragam faktor, mulai dari gelombang aksi beli oleh pemerintah dan bank sentral hingga ketidakpastian geopolitik, dengan 41% populasi dunia akan mengikuti pemilihan umum tahun depan, termasuk di Indonesia.