Bisnis.com, JAKARTA – Langkah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve alias The Fed yang memberikan sinyal untuk kembali menaikkan suku bunga acuannya tahun ini, diyakini para ekonom dapat memicu peluang keluarnya dana asing (capital outflow) dari Indonesia.
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan kendati The Fed menahan fed fund rate (FFR) pada pertamuan 31 Oktober-1 November 2023, namun bank sentral AS tersebut masih memberikan sinyal untuk menaikkan kembali 25 basis points (bps) ke 5,75%. Hal itu menurutnya, akan diambil The Fed jika tingkat inflasi belum memberikan arah yang konsisten menuju target 2%.
"Potensi capital outflows memang masih ada dan sangat data driven," kata Andry dihubungi Kamis (2/11/2023).
Dia melihat, dana asing yang keluar tersebut, nantinnya akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, imbal hasil surat utang, dan IHSG. Dia memperkirakan rupiah mungkin masih akan bergerak pada kisaran Rp15.500-Rp15.900 hingga pertemuan dewan gubernur The Fed (FOMC) pada Desember nanti.
Terpisah, hief Investment Officer Sinarmas Asset Management Gentra Wira Anjalu menuturkan keputusan The Fed yang mempertahankan suku bunga ditanggapi positif oleh pelaku pasar, dengan IHSG yang menguat 1,64% pada Kamis (2/11/2023). Sementara itu pasar obligasi dengan yield yang signifikan yakni dengan benchmark SUN 10 tahun, turun dari 7,11% ke 6,96%.
Ke depan, lanjut Genta, Sinarmas Asset Management memproyeksikan aliran dana asing akan meningkat karena kekhawatiran mengenai The Fed menurun.
Baca Juga
"Apalagi kalau kita melihat di posisi rupiah, entry poin dari asing lebih kondusif. Dengan kata lain jika mereka masuk ke obligasi rupiah, mereka ada potensi buat gain dari currency gain dan potensi harga obligasi mengalami penguatan," ujar Genta dalam Road to 2024: Market Outlook Sinarmas Sekuritas, Kamis (2/11/2023).
Adapun menurutnya, beberapa instrumen dapat menguntungkan tergantung dari kondisi pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dengan skenario yang geopolitik saat ini, jika kondisi geopolitik menyebabkan terjadinya stagflasi, tidak akan ada instrumen yang diuntungkan dari hal ini.
"Tetapi kalau kondisi geopolitik menyebabkan resesi, dengan kata lain pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan tapi inflasi tidak mengalami kenaikan, seharusnya akan lebih bagus untuk obligasi daripada equity," kata dia.
Adapun skenario lainnya yakni jika tidak terjadi kenaikan inflasi yang lebih tinggi maupun tidak terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi yang cukup dalam, seharusnya hal tersebut akan baik untuk obligasi dan equity.