Bisnis.com, JAKARTA - Nama Peter Sondakh muncul lagi ke permukaan usai PT Rajawali Corp milik yang dinahkodainya dikabarkan tengah mempertimbangkan penjualan saham emiten penambang emas PT Archi Indonesia Tbk. (ARCI).
Menurut sumber Bloomberg, Jumat (13/10/2023), Rajawali Corp bekerja sama dengan penasihat keuangan mengenai potensi divestasi tersebut dan mungkin memutuskan untuk tetap mempertahankan sahamnya.
Sumber anonim Bloomberg mengungkapkan, Rajawali yang memiliki sekitar 85 persen saham penambang tersebut, sedang mencari valuasi sekitar US$1 miliar untuk ARCI dalam sebuah kesepakatan.
Saham Archi telah meningkat sekitar 3% tahun ini, memberikan nilai pasar perusahaan sebesar Rp8,5 triliun atau setara US$540 juta. Diskusi atas penjualan saham ARCI sedang berlangsung dan belum ada kepastian Rajawali Corp akan melanjutkan transaksi atau tidak.
Perwakilan Archi mengatakan mereka tidak memiliki informasi mengenai kesepakatan tersebut karena ini merupakan urusan pemegang saham, sementara perwakilan Rajawali tidak menanggapi permintaan komentar melalui telepon dan email.
Terlepas dari aksi korporasinya tersebut, Rajawali Corpora sendiri sudah diketahui umum adalah milik pengusaha Peter Sondakh, orang terkaya ke-22 di Indonesia dengan harta kekayaan mencapai US$1,9 miliar atau setara dengan Rp28,7 triliun.
Baca Juga
Tentunya, untuk bisa sesukses sekarang, ternyata jiwa bisnis Peter Sondakh terasah setelah kematian mendadak sang Ayah. Bahkan, dirinya sempat mengalami kegagalan dalam membangun bisnis real estate.
Lantas, seperti apa sosok dan perjalanan bisnis dari Peter Sondakh? Berikut ulasan Bisnis selengkapnya.
Melansir dari Rajawali Corpora, Peter Sondakh berhasil mengembangkan berbagai bisnisnya dan sukses menjadikan Rajawali Corpora menjadi salah satu perusahaan investasi terkemuka di Indonesia sejak 1984.
Namun, tidak banyak yang mengetahui bahwa kesuksesan Peter Sondakh ini datang dari sang Ayah yang jadi pengekspor kayu dan minyak kelapa sejak era 1950-an.
Berdasarkan Forbes, nyatanya Peter tidak melanjutkan studi kedokteran giginya demi bergabung dengan bisnis ayahnya pada tahun 1971. Hal tersebut otomatis, bertentangan dengan keinginan sang Ayah. Sehingga, sang Ayah pun enggan menyuruhnya bekerja mengumpulkan kayu di ladangnya.
Mengalami Bangkrut Pertama Kali
Akhirnya, ketika sang Ayah tidak menyetujui sikapnya, Peter pun memilih menggunakan uang ayahnya dan sebagian dari tabungannya sendiri untuk mulai membangun rumah murah yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Sayangnya, usaha tersebut mengalami kebangkrutan.
Sempat merasa kecewa, tapi justru pengalaman itu menjadi bekal Peter untuk lebih memahami manajemen properti dan mengajarinya pentingnya mengetahui target pasar.
Lalu, pada tahun 1975 ayahnya meninggal karena serangan jantung pada usia 64 tahun saat Peter berusia 22 tahun. Hal ini menjadikan, Peter mau tak mau harus merawat ibu dan empat saudara perempuannya. Alhasil, Peter segera mengambil alih perusahaan dan mewarisi 20 karyawan dari bisnis sang Ayah.
Peter memang selalu bermimpi membuka hotel. Berbekal hubungan baik dengan teman Ayahnya, menjadikan dia bisa bermitra dan bisa membangun hotel Hyatt di Surabaya yang selesai pada tahun 1977.
Sejak saat itu Peter berfokus pada pengelolaan hotel dan membuat kesepakatan properti baru, sebagian besar di Singapura. Namun pada tahun 1982, ketika Singapura mengalami kehancuran properti, dia kehilangan banyak uangnya. Akhirnya, dia menjual bagian hotelnya ke Hyatt guna menghindari kebangkrutan.
"Saat itulah saya menyadari bahwa saya tidak bisa mengandalkan properti. Saat itulah saya belajar tentang diversifikasi,” jelasnya dilansir dari Forbes dalam artikel ‘Know Thyself’, Rabu (08/2/2023).
Melakukan Diversifikasi Bisnis
Mulai dari 1984, Peter pun memulai Grup Rajawali dan memperluas bisnis lama ayahnya. Dia mengembangkan perusahaan pariwisata dan memulai usaha patungan dengan Bambang Trihatmodjo, mulai dari Grand Hyatt di Jakarta hingga untuk membangun jaringan televisi swasta pertama di Indonesia, Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).
Akan tetapi, kemitraan tersebut berakhir pada tahun 2002, ketika perselisihan di antara para mitra membuat Peter memutuskan untuk menjual sahamnya di jaringan tersebut.
Sementara Peter terus membangun cabang bisnisnya yang lain. Pada tahun 1989, dia mendirikan Bank Pos dalam kemitraan terpisah. Dua tahun kemudian ia mendapat pengakuan internasional ketika pemerintah meminta Rajawali mengambil alih pabrik rokok PT Bentoel Group, yang kini menjadi perusahaan rokok terbesar di Indonesia.
Kemudian dia juga mulai merambah pada bisnis transportasi dengan mendirikan perusahaan taksi Express Group di tahun 1989.
Beberapa bisnis yang sempat dia miliki, mulai dari perusahaan taksi Express Group di tahun 1989, PT Excelcomindo Pratama (XL) hingga Pabrik semen Semen Gresik, yang dibeli dari Cemex seharga US$337 juta pada tahun 2006, di mana saat ini setara dengan Rp5,08 triliun, yang hingga akhirnya mereka pun melepaskan sejumlah saham atas deretan bisnis tersebut.
Kini, bos Rajawali tidak hanya memilki banyak hotel dan resor kelas atas, di mana portofolio Rajawali meliputi agrikultur, media dan pertambangan. Mulai dari, PT Eagle High Plantations Tbk., (BWPT), lalu ada Velo Center sebagai jaringan IT, lalu di bagian media ada Rajawali Televisi dan Fortuna Indonesia. Sementara itu, di bidang pertambangan ada Golden Eagle Energy Tbk., (SMMT) Archi Indonesia Tbk., (ARCI) dan Indo Mines Ltd.
Aset lainnya di bidang properti, seperti St. Regis Bali, The Four Seasons Hotel Jakarta, Langkawi International Convention Center di Malaysia, St. Regis Langkawi Hotels and Resorts, dan St Regis Hotel and Residences Jakarta.