Bisnis.com, JAKARTA – Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dibuka melemah terbatas pada akhir pekan, Jumat (6/10/2023) karena potensi penguatan greenback.
Rupiah dibuka melemah tipis 3 poin atau 0,02 persen ke level 15.621 per dolar AS per pukul 09.05 WIB. Indeks dolar AS naik 0,07 persen ke level 106,402. Penguatan dolar AS menekan mata uang Asia lainnya.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi memperkirakan mata uang rupiah akan bergerak secara fluktuatif pada perdagangan Jumat (6/10/2023). Namun, rupiah diproyeksikan ditutup melemah pada rentang Rp15.600 hingga Rp15.650.
Mengutip data Bloomberg, rupiah ditutup menguat 16 poin atau 0,10 persen menuju level Rp15.618 per dolar AS pada Kamis (5/10/2023). Adapun indeks dolar AS ikut turun 0,01 persen ke 106,78.
Mata uang di kawasan Asia juga mayoritas ditutup menguat. Won Korea naik 0,96 persen, yuan China menguat 0,19 persen, dan Yen Jepang naik 0,07 persen. Selanjutnya peso Filipina menguat 0,05 persen dan dolar Singapura naik 0,07 persen.
Ibrahim Assuaibi menyampaikan bahwa gaji swasta di AS per September 2023 jauh lebih kecil dari perkiraan, sehingga menunjukkan pasar tenaga kerja di negara tersebut sedang mendingin.
Baca Juga
“Hal ini menimbulkan keraguan bahwa Federal Reserve akan cenderung menaikkan suku bunga lagi tahun ini, sehingga mendorong imbal hasil treasury AS turun dari level tertinggi dalam 16 tahun,” ujarnya dalam riset yang dipublikasikan pada Kamis (5/10/2023).
Dari sisi domestik, Ibrahim menuturkan pemerintah optimistis perekonomian nasional masih akan terus bertumbuh dan semakin inklusif di masa depan. Hal ini pun dinilai bisa meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat.
Sementara dari sisi investasi publik, keberlanjutan proyek-proyek strategis nasional serta pengembangan IKN Nusantara akan mendorong pertumbuhan investasi, sekaligus menstimulasi aktivitas investasi sektor swasta.
“Membaiknya intermediasi sektor keuangan yang ditandai oleh peningkatan pertumbuhan kredit perbankan, juga akan turut mendukung aktivitas investasi,” pungkasnya.
Selain itu, ada beberapa kondisi yang perlu menjadi perhatian. Salah satunya akumulasi 8 bulan surplus neraca perdagangan yang telah turun mencapai 30 persen year-on-year (YoY). Hal ini disebabkan oleh penurunan kinerja ekspor komoditas dan hasil manufaktur Indonesia.