Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Batu Bara Terkerek Lonjakan Konsumsi di China dan India

Harga batu bara ICE Newcastle kontrak November 2023 ditutup menguat 1,47 persen ke level US$166 per metrik ton pada akhir perdagangan Selasa (26/9/2023).
Aktivitas tambang batu bara di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. - Bisnis/Husnul Iga Puspita
Aktivitas tambang batu bara di Tanjung Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatra Selatan. - Bisnis/Husnul Iga Puspita

Bisnis.com, JAKARTA – Harga batu bara ditutup menguat pada perdagangan Selasa (26/9/2023), di tengah tren meningkatnya konsumsi di dua negara konsumen utama dunia, India dan China.

Berdasarkan data Bloomberg, harga batu bara ICE Newcastle kontrak November 2023 ditutup menguat 1,47 persen atau 2,4 poin ke level US$166 per metrik ton pada akhir perdagangan Selasa (26/9/2023). Sepanjang bulan ini, harga batu bara menguat 1,78 persen.

Adapun batu bara kontrak September ditutup menguat 0,25 opin ke US$160,35 per metrik ton.

Melansir Reuters, Rabu (27/9/2023), Kepala riset komoditas Noble Research Rodrigo Echeverri mengatakan impor batu bara ke China diperkirakan naik 100 juta ton ke rekor 329 juta ton sepanjang tahun 2023 dan akan terus meningkat pada tahun selanjutnya.

”(Pada 2024) impor akan naik lagi 49 juta ton,” ungkap Echeverri di sela-sela Coaltrans Asia 2023 yang digelar di Nusa Dua, Bali, 24-26 September 2023.

Sementara itu, Presiden Direktur Ombilin Energi mengatakan para pembeli dari China berpikir bahwa permintaan akan lebih tinggi. Permintaan juga didorong oleh sektor non-listrik, seperti sektor kimia.

Ekspektasi permintaan batu bara yang kuat di China, yang merupakan konsumen dan importir batu bara terbesar di dunia, dapat menunda puncak penggunaan batu bara global karena para penambang memasok batu bara untuk waktu yang lebih lama dengan harga yang kompetitif.

Pertumbuhan ekonomi di China sedang tertekan oleh pasar properti, namun cuaca ekstrem dan pertumbuhan aktivitas ekonomi di sektor-sektor lain telah mendorong meningkatnya permintaan listrik dan batu bara untuk pembangkit.

Enam pedagang China di Coaltrans Asia mengatakan bahwa mereka memperkirakan cuaca buruk akan mendorong impor secara keseluruhan pada kuartal IV/2023. Lima di antaranya mengatakan bahwa mereka memperkirakan impor tahun 2024 akan lebih tinggi daripada tahun 2023, tetapi lebih rendah dari perkiraan Noble.

"China akan membakar lebih banyak batu bara karena mereka lebih mengkhawatirkan ekonomi daripada langit biru. Jadi saya pikir pertumbuhan permintaan China akan stabil di level yang sekarang," ungkap salah satu pelaku pasar.

Seorang konsumen batu bara utama di China mengatakan bahwa ia mengharapkan peningkatan intervensi pemerintah untuk merangsang pertumbuhan ekonomi termasuk di sektor properti, dan menambahkan bahwa penambahan kapasitas batu bara baru untuk menyeimbangkan jaringan listrik dapat mendorong impor batu bara tahun 2024.

Sementara itu, produksi listrik dari PLTU batu bara India juga melonjak seiring dengan meningkatnya konsumsi listrik dan kurangnya produksi dari PLTA yang terdampak oleh musim kemarau.

Badan Pengawas Jaringan Listrik India mencatat sistem transmisi listrik India memecahkan rekor pembangkitan dan konsumsi listrik tertinggi pada bulan Agustus. Total konsumsi listrik untuk bulan tersebut naik ke rekor 152 miliar kilowatt-jam (kWh), melampaui rekor sebelumnya yaitu 140 miliar kWh di bulan Juni, dan naik dari hanya 130 miliar kWh di bulan yang sama tahun sebelumnya.

Sistem ini mencetak rekor baru untuk beban simultan yang dilayani sebesar 237 gigawatt (GW), naik dari rekor sebelumnya sebesar 223 GW di bulan Juni dan hanya 195 GW di bulan Agustus 2022.

Total produksi listrik dari semua sumber meningkat sebesar 21 miliar kWh (+16 persen) dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun 2022.

Sebagian besar pembangkit listrik tambahan berasal dari unit-unit pembangkit listrik tenaga batu bara (16 miliar kWh), dengan kontribusi yang lebih kecil dari pembangkit listrik tenaga angin (3 miliar kWh), tenaga surya (2 miliar kWh), dan gas (2 miliar kWh).

Di sisi lain, produksi dari PLTA turun 1 miliar kWh karena curah hujan musim hujan yang tidak merata dan waduk yang menipis, dan hanya memenuhi 16 persen dari total permintaan listrik.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper