Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Saham Garuda (GIAA) Melesat Terpantik Rencana Merger Maskapai Pelat Merah

Saham emiten BUMN , PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) melesat lebih dari 7 persen siang ini terpantik rencana merger maskapai penerbangan pelat merah.
Pesawat maskapai Garuda Indonesia berada di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Selasa (20/12/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pesawat maskapai Garuda Indonesia berada di Terminal 3 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Selasa (20/12/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA — Saham emiten BUMN , PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) melesat lebih dari 7 persen siang ini, terpantik rencana merger tiga maskapai penerbangan pelat merah oleh Menteri BUMN Erick Thohir.

Berdasarkan data RTI Business, Selasa (22/8/2023) pukul 13.49 WIB, saham GIAA naik 7,46 persen atau 5 poin ke level Rp72 per saham. Harga saham GIAA bergerak di anatara Rp67 hingga Rp73 sepanjang perdagangan hari ini.

Meski menghijau pada hari ini, harga saham GIAA telah ambles 64,14 persen secara year-to-date (ytd). Saat ini price to earning ratio (PER) GIAA berada di -2,87 kali dengan kapitalisasi pasar Rp6,59 triliun.

Bursa Efek Indonesia (BEI) juga masih menyematkan notasi khusus terhadap perusahaan plat merah ini yakni notasi E atau saham emiten dengan ekuitas negative, notasi X yang berarti sedang dalam pemantauan khusus serta notasi B yang berarti ada permohonan Pernyataan Pailit, permohonan pembatalan perdamaian, atau dalam kondisi pailit.

Sebelumnya, Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, berencana melakukan merger tiga maskapai, yakni PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA), Citilink Indonesia, dan Pelita Air.

Erick menjelaskan, rencana ini merupakan salah satu upaya agar biaya logistik di Indonesia terus menurun sehingga semakin meringankan dunia bisnis. Dia juga mendorong efisiensi terus menjadi agenda utama pada perusahaan-perusahaan milik negara. 

Erick menjelaskan, Indonesia masih kekurangan sekitar 200 pesawat. Perhitungan itu diperoleh dari perbandingan antara Amerika Serikat (AS) dan Indonesia. Yang mana, di AS terdapat 7.200 pesawat yang melayani rute domestik. Pesawat-pesawat tersebut melayani sekitar 300 juta penduduk AS yang memiliki rerata Pendapatan Domestik Bruto (PDB) mencapai US$40.000.

Sementara itu, di Indonesia terdapat 280 juta penduduk yang memiliki PDB US$4.700. Hal tersebut berarti Indonesia membutuhkan 729 pesawat.

"Padahal sekarang, Indonesia baru memiliki 550 pesawat. Jadi perkara logistik kita belum sesuai," ujar Erick dalam acara Indonesia Cafetalk di Tokyo, Jepang, dikutip dari keterangan resmi pada Selasa (22/08/2023).

Untuk mengurangi ketertinggalan jumlah pesawat tersebut, Erick mengatakan, tidak menutup kemungkinan adanya penggabungan Garuda Indonesia, Citilink dan Pelita Air.

Kementerian BUMN, lanjutnya, terus berupaya menekan biaya logistik, salah satunya melalui upaya efisiensi dengan merger perusahaan-perusahaan.

Erick mencontohkan merger yang dilakukan pada PT Pelabuhan Indonesia atau Pelindo dari sebelumnya memiliki 4 perusahaan menjadi 1. Hal tersebut, lanjutnya, berdampak pada penurunan biaya  logistic dari sebelumnya mencapai 23 persen, menjadi 11 persen.

"Kami juga upayakan Pelita Air, Citilink, dan Garuda merger untuk menekan cost," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper