Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah menargetkan pembiayaan utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp666,44 triliun pada 2024. Target yang tertuang dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 ini naik 83,6 persen jika dibandingkan dengan outlook APBN 2023 sebesar Rp362,93 triliun.
Tingginya potensi pendanaan melalui penerbitan SBN dinilai perlu diimbangi dengan permintaan. Jika tidak, penerbitan SBN berpeluang mengangkat imbal hasil atau yield yang ditawarkan kepada investor.
“Potensi permintaan pada 2024 bergantung pada masuknya investor asing ke Indonesia serta kenaikan permintaan dari mutual funds, dana pensiun, asuransi,” kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede kepada Bisnis, Kamis (17/8/2023).
Josua mengatakan kenaikan permintaan berpotensi terdorong oleh kemungkinan mulainya normalisasi suku bunga global. Dengan demikian, dana asing kembali masuk ke pasar negara berkembang.
Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan kenaikan target penerbitan SBN yang tinggi tersebut tidak terlepas dari realisasi defisit anggaran yang jauh di bawah target.
Per semester I/2023, posisi APBN surplus Rp152,3 triliun atau defisit 0,71 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini jauh berada di bawah target defisit sebesar 2,84 persen terhadap PDB yang dipatok pemerintah.
Baca Juga
“[Rencana penerbitan] masih relatif kondusif untuk pasar SBN domestik. Namun kondisi eksternal seperti normalisasi kebijakan The Fed dan kondisi geopolitik yang berdampak pada fluktuasi harga komoditas terutama harga minyak menjadi perhatian pasar," kata David, Kamis (17/8/2023).
Target defisit anggaran 2024 dalam RAPBN dipatok di 2,29 persen atau lebih rendah dari target 2023. Namun secara nilai, terdapat kenaikan dari Rp486,4 triliun menjadi Rp522,8 triliun.
Ekonom KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana mengemukakan kenaikan nilai defisit anggaran mengindikasikan kenaikan pasokan di pasar surat utang negara.
Kenaikan pasokan juga berpotensi terjadi di level global mengingat adanya fenomena bond tsunami di Amerika Serikat.
“Jadi akan ada perebutan dana yang cukup kompetitif. Dilihat dari estimasi yield SBN di 6,49 persen jadi pertimbangan karena pasokan lebih besar,” kata Fikri.
Namun dia turut memberi catatan bahwa kondisi pasar obligasi negara tahun depan masih diselimuti ketidakpastian karena pergantian kepemimpinan yang dihadapi Indonesia. Ada pula dinamika serapan pasar yang dipengaruhi oleh arah kebijakan suku bunga bank sentral.
“Permintaan domestik masih cukup baik, terlihat tahun ini dari asuransi, dana pensiun dan perbankan. Namun 2024 masih diselimuti ketidakpastian, terlebih jika ada kebijakan pivot dari suku bunga The Fed, saya kira akan ada perubahan arus likuiditas,” katanya.