Bisnis.com, JAKARTA - Manajer investasi, PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) mengungkap prospek pasar obligasi dan pasar saham di Indonesia pada semester II/2023 di tengah berbagai sentimen, baik dari domestik maupun global.
Director & Chief Investment Officer Fixed Income MAMI, Ezra Nazula mengatakan dari sentimen global, kenaikan siklus suku bunga Bank Sentral AS Federal Reserve atau The Fed diprediksi akan segera mencapai puncaknya dengan proyeksi satu kali kenaikan lagi pada Federal Open Market Committee (FOMC) September 2023.
Sementara itu dari dalam negeri, menurutnya kebijakan Bank Indonesia (BI) masih bersifat dovish atau menahan suku bunga acuan BI7DRR di level 5,75 persen di tengah meredanya inflasi akan terus menjaga daya tarik imbal hasil obligasi tetap stabil.
"Dari sisi kondisi makro cukup kondusif, saat siklus kenaikan suku bunga sudah selesai dan ada ekspektasi penurunan suku bunga, maka pasar obligasi akan mengalami penguatan," ujar Ezra dalam webinar bertajuk Market Update: No Harsh Landing, Selasa, (15/8/2023).
Lebih lanjut dia mengatakan, pasokan obligasi yang terkendali di tengah defisit anggaran yang mengecil dan saldo SAL yang besar menjadi katalis penting pasar obligasi pada tahun ini. Dengan kondisi tersebut, pasar obligasi Indonesia dinilai masih menarik bagi investor domestik maupun asing.
"Asing sangat suka dengan pasar obligasi Indonesia, karena punya kondisi fiskal dan makro yang solid dan rating outlook Indonesia akan meningkat. Potensi pasar obligasi sangat besar, ekspektasi kami yield 10 tahun bisa ke 6-6,25 persen," pungkas Ezra.
Baca Juga
Di lain sisi, Senior Portfolio Manager Equity MAMI, Samuel Kesuma mengatakan pasar saham masih stagnan dengan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya naik tipis sekitar 1 persen dibandingkan akhir Desember 2022 yang berada di level 6.850.
"Kalau kita lihat level IHSG dibandingkan dengan penutupan tahun lalu hampir tidak kemana-mana, hanya naik sekitar 1 persen saja," ujar Samuel dalam acara yang sama.
Menurutnya, level IHSG saat ini sama sekali tidak mencerminkan pertumbuhan yang banyak terjadi pada ekonomi Indonesia maupun kinerja laba emiten yang mayoritas mengalami pertumbuhan. Meski demikian, Samuel mengatakan MAMI masih menyematkan pandangan yang optimistis untuk pasar saham Indonesia.
"Sampai akhir tahun kami melihat IHSG nilai wajarnya ada di sekitar level 7.700, kami set cukup konservatif dengan Price Earning [PE] 14,2 kali, jadi masih di bawah rata-rata historis, dan PE tersebut mencerminkan earnings yang masih lebih tinggi dibandingkan yield obligasi 10 tahun kita," kata Samuel.
Lantas, instrumen mana yang lebih menarik antara saham dan obligasi?
Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan mengatakan sebelum memilih instrumen investasi, perlu dilihat profil risiko dari masing-masing investor yang terbagi menjadi konservatif, moderat, atau agresif. Hal itu dapat menentukan instrumen investasi apa yang cocok untuk dipilih investor.
"Perhatikan juga horizon investasi, apakah jangka pendek, menengah atau panjang. Sangat penting untuk melakukan diversifikasi, karena kondisi pasar bisa berubah sewaktu-waktu," ujar Katarina.
Menurutnya, untuk investor tipe konservatif dengan horison investasi jangka pendek disarankan memilih instrumen pasar uang. Kemudian untuk investor moderat disarankan memilih pendapatan tetap, sedangkan untuk investor tipe agresif disarankan ke pasar saham.
Adapun, beberapa produk unggulan MAMI untuk reksa dana saham yaitu Reksa Dana Manulife Dana Saham (MDS) dan Reksa Dana Saham Manulife Saham Syariah Asia Pasifik Dollar AS (MANSYAF). Sedangkan untuk reksa dana obligasi yakni Reksa Dana Manulife Obligasi Unggulan (MOU) dan Reksa Dana Manulife Obligasi Negara Indonesia II (MONI).