Bisnis.com, JAKARTA - Emiten batu bara milik konglomerat Low Tuck Kwong, PT Bayan Resources Tbk. (BYAN) siap menghadapi era profit turun di tengah tren melunaknya harga komoditas emas hitam dunia.
Direktur sekaligus Chief Financial Officer (CFO) BYAN Alastair Mcleod menjelaskan pihaknya sebenarnya telah mengantisipasi penurunan harga tersebut, sehingga strategi tahun ini lebih difokuskan untuk menjaga berbagai target-target kinerja keuangan secara sehat.
"Tren ini [penurunan harga batu bara] membuat financial growth tahun ini cenderung sulit, bahkan profit bisa lebih rendah dari capaian 2022. Tapi soal produksi dan sales, kami optimistis bisa melampaui target," ujar Alastair ketika ditemui Bisnis selepas menghadiri acara BYAN di bilangan Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (27/7/2023).
Sebagai pengingat, emiten batu bara besutan orang terkaya RI, Low Tuck Kwong ini menargetkan volume produksi dan penjualan tahun ini berkisar 42 juta-48 juta metrik ton (MT) batu bara. Tercatat naik dari realisasi produksi dan penjualan periode 2022, masing-masing di level 38,9 juta MT dan 39,9 juta MT.
"Peningkatan sales pun jadi fokus kami pada tahun ini. Kami percaya, kinerja keuangan tahunan kami masih sangat sehat dari sisi margin, bahkan optimistis menjadi yang tertinggi di kalangan pemain batu bara Indonesia," tambahnya.
Alastair menambahkan 2023 pun merupakan tahun persiapan untuk melesat lebih tinggi pada lima tahun mendatang, seiring menggenjot realisasi belanja modal (capex) dalam rangka menambah infrastruktur kapasitas produksi.
Baca Juga
Beberapa di antaranya, untuk pembangunan jalan pengangkutan batu bara hingga 100 km ke Sungai Mahakam, belanja alat berat, dan perluasan kapasitas stockpile di Balikpapan Coal Terminal.
"Program-program itu harapannya bisa terealisasi penuh jelang akhir tahun ini atau awal kuartal I/2024, sehingga tahun depan kami sudah bisa mengoptimalkan kapasitas produksi berkisar 40-45 MT output lagi pada 5 tahun mendatang," ujarnya.
Sebagai informasi, tahun ini BYAN menganggarkan capex mencapai US$220 juta hingga US$300 juta untuk program peningkatan kapasitas produksi.
Alastair menjelaskan ada potensi realisasi capex tersendat layaknya tahun lalu, yakni hanya US$207,9 juta dari bujet US$267 juta, karena kondisi cuaca yang kurang bisa mendukung percepatan proses konstruksi.