Persaingan Usaha Dibalik Narasi Negatif Galon Guna Ulang

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), Chandra Setiawan dengan tegas mengatakan tidak setuju ada pelabelan Bisfenol A (BPA) di kemasan air minum.
Foto: Freepik
Foto: Freepik

Bisnis.com, JAKARTA-Penggiringan isu pelabelan BPA marak lagi dihembuskan akhir-akhir ini meskipun dari pihak pemerintah, pakar hukum, dan para pakar kimia dan kesehatan sudah menyatakan bahwa hal itu belum perlu dilakukan. Isu ini pun dinilai lebih mengarah kepada unsur persaingan usaha semata.
 
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan usaha (KPPU), Chandra Setiawan dengan tegas mengatakan tidak setuju ada pelabelan Bisfenol A (BPA) di kemasan air minum. Alasannya menurut dia, pelabelan BPA itu sama dengan menyerahkan pengawasan kepada masyarakat. “Hal ini tidak boleh, karena pengetahuan masyarakat yang heterogen dan masyarakat tidak punya tools yang dapat mendeteksi kadar BPA,” katanya.
 
Dia melihat polemik kontaminasi BPA yang berujung pada upaya pelabelan produk air minum dalam kemasan (AMDK) ini berpotensi mengandung diskriminasi yang dilarang dalam hukum persaingan usaha. “Sebab, 99 persen industri ini menggunakan galon tersebut (berbahan BPA), dan hanya segelintir yang menggunakan galon sekali pakai (PET),” katanya.

Hal senada juga disampaikan Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau dan Bahan Penyegar (Mintegar) Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Edy Sutopo. Dia  dengan tegas mengatakan Kemenperin) tidak setuju dengan pelabelan BPA pada kemasan pangan. Menurutnya, hal itu hanya akan menambah cost yang mengurangi daya saing Indonesia. Menurutnya, substansi isunya sendiri masih debatable.
 
“Jadi, sebenarnya yang diperlukan itu adalah edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat bagaimana cara handling dan penggunaan kemasan yang menggunakan bahan penolong BPA dengan benar. Jadi, bukan malah memunculkan masalah baru yang merusak industri,” ucapnya.
 
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang juga pakar hukum persaingan usaha, Ningrum Natasya Sirait, mengatakan keputusan mengeluarkan satu regulasi untuk pelabelan BPA terhadap kemasan pangan itu harus melalui competition checklist. Artinya, regulasi itu harus memikirkan juga dampaknya terhadap sisi persaingan usahanya.
 
Menurutnya, semua bentuk perangkat hukum seperti perizinan dan juga regulasi yang berdampak terhadap perkembangan perusahaan, itu bisa menghambat keinginan perusahaan baru lain yang sejenis untuk berinvestasi di Indonesia. “Jadi, peraturan dalam konteks apapun harus melalui competition checklist, sehingga tidak menjadi artificial barrier yang membebani perusahaan dalam pasar persaingan yang akhirnya menjadi tanggungan masyarakat,” ujarnya.
 
Ahli Polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Akhmad Zainal Abidin, juga mengkritik kebijakan pelabelan BPA yang dinilai cenderung diskriminatif. Menurutnya, regulator perlu mengambil keputusan berdasar fakta-fakta ilmiah dan jangan hanya menyebut nama zat tertentu kemudian dikategorikan tidak boleh. “Jangan mengambil kebijakan berdasarkan isu yang belum terbukti secara ilmiah. Kita perlu menjadi negara yang betul-betul teredukasi,” katanya.

Karenanya, dia sangat menyayangkan adanya narasi yang salah dalam memahami kandungan BPA dalam AMDK yang dihembuskan pihak-pihak tertentu akhir-akhir ini. Sebab, sebagai pakar polimer, dia melihat kemasan yang mengandung BPA itu merupakan bahan plastik yang aman. ”Karena, memang dari tes-tes yang kami tahu, BPA yang ada di dalam air akibat menggunakan polikarbonat itu rendah. Jadi, wajar kalau memang tidak ada problem yang muncul seperti kematian atau orang sakit karena minum air botol galon polikarbonat,” katanya.
 
Dia juga menegaskan pelabelan itu secara scientific sebenarnya tidak perlu dilakukan karena sudah ada jaminan dari BPOM dan Kemenperin bahwa produk-produk air kemasan galon aman untuk digunakan. “Berdasarkan uji laboratorium yang dilakukan BPOM sudah terbukti bahwa migrasi BPA dalam galon itu masih dalam batas aman atau jauh di bawah ambang batas aman yang sudah ditetapkan BPOM. Produk-produk itu juga sudah berlabel SNI dan ada nomor HS-nya yang menandakan bahwa produk itu aman,” ucapnya.
 
Guru Besar Bidang Keamanan Pangan dan Gizi di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) Institut Pertanian Bogor (IPB), Ahmad Sulaeman, bahkan mengkhawatirkan isu pelabelan BPA yang belum jelas ini justru akan memperburuk gizi masyarakat. Hal itu disebabkan adanya ketakutan masyarakat untuk mengkonsumsi produk yang sebetulnya sangat dibutuhkan tubuh manusia dan beralih ke produk-produk lain yang justru belum bisa terjamin kesehatannya.
 
Dia mencontohkan seperti wacana pelabelan potensi bahaya BPA dari kemasan galon guna ulang yang meskipun belum terbukti secara ilmiah. Menurutnya, saat dilakukan pelabelan itu, masyarakat bisa dipastikan khawatir untuk meminum semua jenis yang namanya air minum dalam kemasan termasuk yang non BPA. Hal itu mengingat kemasan yang non BPA atau kemasan botol dan galon sekali pakai juga memiliki zat-zat kimia berbahaya. “Pasti akan berimbas juga. Karena masyarakat taunya kan air minum dalam kemasan,” ujarnya.
 
Guru Besar Ilmu Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Hardinsyah mengatakan belum ada urgensi pelabelan BPA  pada air minum dalam kemasan. Dia beralasan hal itu disebabkan belum adanya bukti kuat yang menyatakan bahwa BPA dalam kemasan itu sudah membahayakan kesehatan.
 
“Kalau mau mengatur BPA tadi, ya harus berbasis bukti, berbasis evidence. Kan namanya mau membuat regulasi, jadi harusnya berbasis bukti yang kuat. Bukti itu berupa hasil kajian atau penelitian yang mengatakan bahwa BPA pada galon guna ulang itu memang benar-benar berbahaya untuk kesehatan. Harus dengan protokol yang dapat dipertanggungjawabkan dan bukan asal-asalan,” ucap Ketua Umum PERGIZI PANGAN Indonesia ini.
 
Praktisi kesehatan bidang onkologi atau penyakit kanker, dr. Bajuadji, Sp.B (K) Onk, juga mengatakan tak ada kaitannya sama sekali antara air galon dengan penyakit kanker seperti diisukan selama ini. Dia melihat isu-isu yang mengait-ngaitkan air galon dengan kanker itu hanya karena adanya unsur-unsur persaingan usaha semata.
 
“Saya tidak pernah menemukan ada dari pasien-pasien yang mengalami kanker karena telah mengkonsumsi air galon. Itu menurut saya hanya persaingan usaha saja,” ujarnya.
 
 Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga ada yang melakukan framing terkait isu BPA ini. “Waduuh.. ini ada yang framing.. ada mafia,” ucapnya.
 
Dia mengatakan hal itu terkait adanya pihak-pihak yang membuat rilis palsu terkait pernyataannya di beberapa media terkait isu BPA ini. “Sepertinya ada rilis palsu atas nama saya terkait isu BPA ini,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper