Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Data Ekonomi China Bikin Dolar AS Tergelincir

Dolar Amerika Serikat (AS) tergelincir terhadap sebagian besar mata uang utama lainnya, setelah data pertumbuhan ekonomi China lebih baik dari perkiraan.
Karyawan menunjukan dolar AS di Jakarta, Rabu (3/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Karyawan menunjukan dolar AS di Jakarta, Rabu (3/3/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Bisnis.com, JAKARTA — Dolar Amerika Serikat (AS) tergelincir terhadap sebagian besar mata uang utama lainnya pada penutupan perdagangan Selasa (18/4/2023), setelah data pertumbuhan ekonomi China lebih baik dari perkiraan, sementara angka pembayaran yang kuat dari Inggris mendukung pound.

Produk Domestik Bruto (PDB) China tumbuh 4,5 persen tahun ke tahun dalam tiga bulan pertama tahun ini, data menunjukkan, mengalahkan perkiraan para analis untuk ekspansi 4,0 persen setelah berakhirnya pembatasan COVID-19 mengangkat ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Data terpisah pada aktivitas Maret di China, juga menunjukkan pertumbuhan penjualan ritel meningkat menjadi 10,6 persen, mengalahkan ekspektasi dan mencapai level tertinggi hampir dua tahun, sementara pertumbuhan output pabrik juga meningkat tetapi sedikit di bawah ekspektasi.

"Pandangan tentang dolar AS menjadi sedikit lebih lemah terhadap mata uang utama lainnya didasarkan pada China yang kuat," kata Thierry Wizman, ahli strategi valas dan suku bunga global Macquarie di New York dikutip dari Antara.

"Ketika seluruh dunia baik-baik saja atau lebih baik dari AS dalam hal aktivitas ... itu biasanya buruk untuk dolar," katanya pula.

Juga mendorong pelemahan dolar adalah kemungkinan disinflasi sudah terjadi di AS, alasan Federal Reserve akan menghentikan kenaikan suku bunga, kata Wizman.

"Ada peluang bagus bahwa euro dan sterling terus berjalan dengan baik," katanya ula. "Ini dimulai dengan kisah disinflasi di AS, yang merupakan sesuatu yang tidak benar-benar dipahami orang," katanya lagi.

Euro naik 0,38 persen menjadi 1,0968 dolar AS, setelah dua penurunan harian berturut-turut lebih dari 0,5 persen, sementara indeks dolar, ukuran greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,362 persen. Indeks naik lebih dari 1,0 persen dalam dua sesi perdagangan terakhir.

Yuan di pasar luar negeri naik 0,02 persen menjadi 6,8824 per dolar AS.

Pound Inggris melonjak meskipun tingkat pengangguran meningkat tak terduga dalam tiga bulan hingga Februari, karena pertumbuhan gaji tetap lebih tinggi dari perkiraan, yang dapat mendorong Bank Sentral Inggris untuk menaikkan suku bunga lagi pada Mei.

"Kejutan tahun ini adalah betapa kuatnya euro dan sterling, terutama mengingat kami keluar dari paruh kedua tahun lalu dengan banyak krisis di Eropa," kata Wizman.

Sterling terakhir diperdagangkan pada 1,2427 dolar AS, naik 0,43 persen hari ini.

Pedagang berjangka memperkirakan peluang 83,4 persen kenaikan suku bunga Fed sebesar 25 basis poin pada pertemuan Mei, dengan pedagang masih mengharapkan penurunan suku bunga menjelang akhir tahun.

Jim Caron, co-chief investment officer dari Global Risk Balanced Team di Morgan Stanley Investment Management, mengatakan setelah kenaikan Mei, The Fed akan mempertahankan suku bunga di kisaran 5,0-5,25 persen sepanjang tahun untuk memastikan inflasi tetap terkendali.

"Apa yang membuat The Fed terjaga di malam hari adalah ketakutan bahwa inflasi menjadi tidak memiliki basis kuat" dan tidak tetap lebih rendah di dekat target Bank Sentral AS, 2,0 persen," kata Caron.

"Jika mulai meresap naik kembali, dan menjadi tidak memiliki basis yang kuat, maka itu masalah yang lebih besar," katanya lagi.

Bank Sentral AS harus terus menaikkan suku bunga di belakang data terbaru yang menunjukkan inflasi tetap bertahan sementara ekonomi yang lebih luas tampaknya siap untuk terus tumbuh, sekalipun perlahan, kata Presiden Fed St Louis James Bullard.

Dolar Australia naik 0,39 persen versus greenback menjadi 0,673 dolar AS, setelah risalah bank sentral Australia (RBA) menunjukkan bank sentral mempertimbangkan kenaikan suku bunga ke-11 berturut-turut pada April sebelum memutuskan untuk berhenti.

Namun, RBA mengatakan siap untuk memperketat lebih lanjut jika inflasi dan permintaan gagal mereda.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Newswire
Editor : Ibad Durrohman
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper