Bisnis.com, JAKARTA – Harga saham PT Pertamina Geothermal Energy Tbk. (PGEO) terus mengalami penurunan sejak IPO dari posisi Rp875 menjadi Rp665. Apakah berpengaruh pada fundamentalnya?
Mengutip laporan keuangan PGEO sampai dengan akhir 2022, Perseroan berhasil membukukan pendapatan senilai US$386,06 juta atau setara dengan Rp6,01 triliun. Pendapatan tersebut tumbuh hanya 4,67 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya US$368,82 juta.
Pendapatan bersumber dari operasi sendiri melalui PT Indonesia Power dan PLN dengan total US$371,93 juta dan dari biaya production allowances senilai US$14,13 juta.
Di sisi lain beban usaha PGEO mengalami penurunan pada 2022 hingga 5 persen, menjadi US$173,20 juta dari tahun sebelumnya US$182,32 juta.
Dari penurunan beban usaha, PGEO mencetak laba kotor tumbuh 14,13 persen year on year (yoy) pada 2022 menjadi US$212,86 juta atau setara dengan Rp3,31 triliun, dari tahun sebelumnya US$186,49 juta.
Adapun, laba tahun berjalan yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk pada 2022 tumbuh 49,67 persen menjadi US$127,34 juta atau setara dengan Rp1,98 triliun, dari tahun sebelumnya hanya US$85,07 juta.
Baca Juga
Di sisi lain, terjadi pelemahan harga saham yang terus menggelayuti PGEO. Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengatakan kondisi market tidak mencerminkan prospek bisnis PGEO ke depan.
"Kita tahu kondisi market di level global dan juga domestik masih cukup volatile sehingga menekan harga saham PGEO tetapi relatif tidak berkaitan dengan fundamental bisnis perusahaan," ujarnya dalam keterangan resmi, Rabu (12/4/2023).
Menurutnya secara prospek bisnis PGEO cerah mengingat posisinya di bawah subholding Pertamina New Renewable Energy (NRE). Pasalnya subholding itu diplot menjadi bisnis anyar menggantikan sektor minyak dan gas (migas).
Selain itu pengembangan energi global mulai mengarah pada pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), seperti halnya energi panas bumi. Adapun pemerintah telah memasang target peningkatan pemanfaatan energi panas bumi minimal mencapai 7 gigawatt pada 2030 mendatang.
"Dari target kapasitas itu, sekitar 2 gigawatt akan kita dapat dari (hasil produksi) PGEO. Itu artinya ke depan mereka bakal menjadi market leader di bisnis panas bumi di Indonesia," papar Fabby.