Bisnis.com, JAKARTA – Bank digital disebut cenderung rentan terkena dampak dari sentimen eksternal kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) yang merupakan bank teknologi.
Direktur Indovesta Utama Mandiri Rivan Kurniawan mengungkapkan kasus SVB rentan melunturkan kepercayaan publik terhadap sektor perbankan. Sentimen negatif ini bisa merembet ke sektor bank digital, dibandingkan bank konvensional yang lebih besar.
“Meskipun secara data, kesehatan bank digital saat ini rata-rata sudah lebih terjaga dibandingkan dengan tahun sebelumnya,” kata Rivan saat dihubungi Bisnis, Jumat (17/3/2023).
Rivan menilai gerak bank digital semakin berat, terutama saat kejatuhan SVB berdampak bagi saham-saham bank digital di Bursa Efek Indonesia.
“Jadi untuk beberapa waktu ke depan [investor] belum menarik untuk masuk,” jelasnya.
Namun dalam jangka waktu yang lebih panjang, apabila bank digital mampu meningkatkan profitabilitas dan memperkuat struktur permodalan, dan sentimen negatif dari eksternal sudah mereda, maka saham-saham bank digital bisa menjadi pilihan investor.
Baca Juga
Terpisah, pelatih investasi saham dan derivatif sekaligus CEO Akela Trading System Hary Suwanda menjelaskan kebangkrutan SVB, Silvergate dan Signature, tidak mengarah ke gejolak krisis 2008.
Di 2008 bank-bank yang bermasalah adalah bank-bank utama Amerika Serikat, sementara pada 2023, yang mengalami guncangan setidaknya sejauh ini adalah bank-bank regional AS dengan nilai aset di bawah US$250 miliar.
“Koreksi yang terjadi terhadap saham emiten bank-bank besar di Indonesia seperti BBCA, BBR, BMRI dan BBNI adalah justru peluang untuk mengkoleksi saham-saham tersebut di harga diskon,” jelasnya.
Lagi pula, jelas Hary, JPMorgan sebagai bank terbesar AS sudah menggalang rekan-rekannya sesama bank besar untuk menyalurkan deposito hingga US$30 miliar pada First Republic Bank. Tindakan ini dilakukan untuk memperkuat posisi likuiditas bank tersebut yang mengalami ketidakpastian akibat keruntuhan Silicon Valley Bank.