Bisnis.com, JAKARTA – Pasar saham di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia kompak merosot pada perdagangan akhir pekan atau Jumat (10/3/2023) waktu setempat menyusul aksi jual tajam pada saham-saham perbankan di Wall Street akibat kejatuhan Silicon Valley Bank (SVB).
Kejatuhan SVB merembet ke saham induk usahanya SVB Financial Group yang tercatat di Nasdaq. Otoritas Nasdaq menangguhkan perdagangan saham SVB pada pukul 08.35 pagi pada Jumat (10/3/2023) waktu setempat setelah saham perusahaan turun 49 persen dalam perdagangan premarket. Saham perusahaan sempat turun 60 persen sehari sebelumnya atau pada Kamis (9/3/2023) waktu setempat.
Wall Street panik. Indeks Dow Jones Industrial Average anjlok 1,07 persen, S&P 500 ambles 1,45 persen, dan Nasdaq tergelincir 1,76 persen pada akhir perdagangan Jumat.
Selanjutnya, saham-saham di Eropa mengalami nasib serupa. Mengutip Bloomberg, saham Eropa merosot paling dalam hampir dua bulan. Indeks Stoxx Europe 600 turun 1,4 persen pada penutupan di London, penurunan terbesar sejak 19 Januari 2023, dengan saham perbankan dan jasa keuangan memimpin kerugian.
Di Asia, Bursa Hang Seng di Hong Kong memimpin penurunan dengan tenggelam 3 persen, sementara Shanghai China dan Kospi Korea turun masing-masing 1,4 persen dan 1 persen.
Adapun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok 0,51 persen atau 34,49 poin ke 6.765,30 pada akhir pekan lalu. Saham BBCA, BBNI dan BMRI masing-masing ambrol 1,46 persen, 1,37 persen, dan 0,72 persen.
Baca Juga
Masih bingung tentang apa yang terjadi pada SVB? Berikut sederet fakta utama yang Bisnis.com himpun dari berbagai sumber.
5 Fakta Penting Bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB):
1. Bank besar kedua yang bangkrut sejak era Great Recession
Silicon Valley Bank didirikan pada 1983 di Santa Clara, California, AS. Perusahaan dengan cepat berkembang menjadi bank untuk sektor teknologi. SVB pernah mengklaim sebagai bank untuk hampir setengah dari semua perusahaan rintisan di AS pada 2021.
Sekalipun tidak banyak dikenal di luar Silicon Valley, SVB termasuk di antara 20 bank komersial Amerika teratas. Berdasarkan data US Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC), SVB memiliki total aset US$209 miliar pada akhir tahun lalu.
Kejatuhan SVB terjadi sangat cepat -hanya dalam 48 jam- sehingga menjadi penutupan terbesar bank AS oleh otoritas setempat sejak keruntuhan Washington Mutual pada 2008.
2. Old-fashioned banking
SVB menganut pengelolaan dana yang kuno alias old-fashioned. Artinya, SVB menyimpan deposit dari klien dan menginvestasikan deposit tersebut pada aset-aset yang aman, seperti obligasi.
Lantaran Bank Sentral AS Federal Reserve agresif menaikan suku bunga sejak 2022, imbal hasil obligasi AS terus mengalami penguatan dan membuat harga obligasi AS turun. Kondisi ini biasanya tidak menjadi masalah, sebab SVB cukup menunggu obligasi yang menjadi portofolionya jatuh tempo.
Namun, karena industri startup secara umum sedang efisiensi besar-besaran, aliran deposito ke dompet SVB ikut melambat. Yang terjadi justru sebaliknya, para klien dari startup dan modal ventura ramai menarik uang mereka dari SVB.
SVB sebelumnya masih tampak stabil pada awal tahun. Akan tetapi, secara tiba-tiba SVB mengumumkan rencana penggalangan dana senilai US$1,75 miliar atau sekitar Rp27,13 triliun untuk memperkuat modal.
3. Tidak ada diversifikasi klien
Masalah paling khusus dari SVB adalah perusahaan sangat terkonsentrasi pada bisnisnya. SVB melayani modal ventura dan private equity lantaran sektor itu telah berkembang dengan baik selama satu dekade terakhir.
SVB sangat terkonsentrasi dengan exposure yang tinggi pada satu industri yakni teknologi, hal itu membuka risiko. Ketika keadaan memburuk di sektor teknologi, maka hal itu dengan cepat menjadi buruk juga bagi SVB.
Pada bagian lain, sentimen pada sektor teknologi yang sedang mendung ini dibikin tambah suram oleh bank kripto terbesar di dunia Silvergate Capital yang juga bakal tutup.
Silvergate melaporkan kerugian hingga US$1 miliar pada kuartal IV/2022. Bank ini merugi karena investor berlomba-lomba menarik deposito lebih dari US$8 miliar buntut kepanikan atas bangkrutnya bursa FTX.
4. Sangat loyal dengan startup
Kedekatan SVB dengan para pendiri perusahaan teknologi bisa dilihat dari pendekatan perusahaan yang cenderung fleksibel. Vox.com melaporkan, salah satu cara untuk mengukur pengaruh SVB di dunia teknologi adalah dengan menghadiri konferensi teknologi, di mana SVB sering kali menjadi sponsor utama.
Tidak seperti bank lain, kata pengamat industri teknologi, SVB bersedia bekerja dengan perusahaan rintisan teknologi dengan cara yang kemungkinan kurang digarap oleh bank lain. Misalnya, SVB bersedia membantu karyawan awal sebuah startup mendapatkan pinjaman pribadi untuk sebuah rumah.
Paling menonjol, SVB sangat fleksibel dalam meminjamkan uang kepada startup teknologi meskipun mereka tidak memiliki arus kas bebas. SVB juga sering bersedia bekerja dengan pendiri startup yang bukan warga negara AS. Kebijakan seperti ini biasanya menjadi kendala bagi bank yang lebih tradisional.
5. Asuransi FDIC
Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) didirikan oleh pemerintah AS setelah periode Great Depression atau Depresi Hebat, ketika banyak bank bangkrut dan pelanggan mereka kehilangan semua uang mereka. FDIC didirikan untuk melindungi konsumen yang menggunakan bank Amerika dan memberikan stabilitas pada sistem perbankan Amerika. Jika bank anggota gagal, deposito masih diasuransikan hingga US$250.000.
Hampir setiap bank di AS saat ini diasuransikan oleh FDIC, termasuk SVB. Jika nasabah memiliki uang di SVB, FDIC mengatakan nasabah akan mendapatkannya kembali paling lambat Senin pagi atau pada 13 Maret 2023, selama nilainya di bawah batas US$250.000. Jumlah lebih dari itu akan mendapatkan dividen di muka pada minggu depan.