Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rupiah Menutup Pekan di Zona Hijau, Rp15.598 per Dolar AS

Rupiah ditutup menguat 0,13 persen atau 21 poin ke Rp15.598 per dolar AS.
Pegawai merapikan uang Rupiah di kantor cabang BNI, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai merapikan uang Rupiah di kantor cabang BNI, Jakarta, Rabu (28/9/2022). Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Nilai tukar rupiah ditutup perkasa terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada akhir pekan ini, Jumat (16/12/2022). Rupiah menguat 0,13 persen atau 21 poin.

Berdasarkan data Bloomberg, di pasar spot, rupiah ditutup menguat 0,13 persen atau 21 poin ke Rp15.598 per dolar AS. Sepanjang tahun berjalan, rupiah masih melemah 9,36 persen.

Penguatan rupiah bersamaan dengan sejumlah mata uang di Asia Pasifik lainnya. Contohnya, Yen Jepang menguat 0,49 persen, juga dolar Singapura yang menguat 0,25 persen. Adapun, Yuan China juga menguat 0,03 persen, Bahct Thailand juga menguat 0,29 persen.

Ibrahim Assuaibi Direktur Laba Forexindo Berjangka menerangkan sinyal hawkish dari bank sentral utama dan sejumlah pembacaan ekonomi yang lemah meningkatkan kekhawatiran resesi global memasuki tahun 2023.

Dia menerangkan sentimen dalam negeri dari Lembaga Pemeringkat Kredit Fitch Ratings menilai prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka menengah tergolong baik karena memiliki nilai ekspor yang kuat.

"Indonesia memiliki posisi yang lebih baik dibandingkan negara-negara peers, salah satunya karena posisi Indonesia sebagai negara pengekspor komoditas," jelasnya dalam keterangan, Jumat (16/12/2022).

Dengan kinerja ekspor yang kuat dan pemulihan ekonomi domestik yang terus berlangsung, Fitch memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 akan mencapai 5,2 persen.

Di sisi lain, Fitch mengungkapkan RI memiliki dua tantangan terkait dengan penerimaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan indikator struktural, seperti tata kelola yang dinilai masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain pada peringkat rating yang sama.

Seperti halnya negara-negara lain, Indonesia saat ini juga menghadapi peningkatan imbal hasil obligasi negara dan pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS.

Lalu, Fitch memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 akan melambat 4,8 persen akibat pelemahan permintaan domestik dan eksternal. Sebagai konsekuensi terjadinya kenaikan suku bunga dan normalisasi harga komoditas.

Meskipun pertumbuhan ekonomi semakin membaik, Indonesia tidak boleh lengah dan berpuas diri, terutama di tahun depan. Sedangkan  di tahun depan Indonesia memiliki banyak tantangan yang harus diwaspadai, termasuk pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan.

Untuk bisa memaksimalkan ekonomi domestik, diperlukan kolaborasi yang baik antara pemerintah dengan pihak swasta sehingga nantinya Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekspor-impor.

Dalam perdagangan akhir pekan ini, mata uang rupiah ditutup menguat 21 poin walaupun sebelumnya sempat menguat 27 point di level Rp15.598 dari penutupan sebelumnya di level Rp.15.619.

"Sedangkan untuk perdagangan Senin depan, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup menguat pada rentang Rp15.570--Rp15.650," terangnya.

Federal Reserve menaikkan suku bunga seperti yang diharapkan dan mengisyaratkan biaya pinjaman kemungkinan akan memuncak pada tingkat yang lebih tinggi dari perkiraan karena terus bertindak melawan inflasi.

Seperti The Fed, Bank Sentral Eropa menaikkan suku bunga untuk keempat kalinya berturut-turut, meskipun kurang dari dua pertemuan terakhirnya, menjanjikan kenaikan lebih lanjut dan menyusun rencana untuk menguras uang tunai dari sistem keuangan sebagai bagian dari perjuangannya melawan pelarian. inflasi.

Presiden ECB Christine Lagarde, dalam konferensi persnya, mengatakan risiko kenaikan inflasi tetap ada, yang memerlukan pengetatan lebih lanjut.

Bank of England juga menaikkan suku bunga utamanya setengah poin persentase lebih lanjut pada hari Kamis dan mengindikasikan kemungkinan kenaikan lebih lanjut. Namun investor bertaruh bahwa BoE mungkin mendekati akhir kenaikan biaya pinjamannya.

Selain itu, optimisme atas pembukaan kembali ekonomi di negara itu. Tetapi dalam waktu dekat, China menghadapi lonjakan kasus Covid-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menurut para analis dapat menunda pembukaan kembali dan semakin mengganggu aktivitas ekonomi. Sejumlah data ekonomi yang lemah menyoroti keretakan ekonomi yang berkembang di China akibat pandemi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper