Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Opini: Pelajaran dari Longsornya Kripto

Dalam kebijakan fiat money, nilai dolar AS tidak lagi disandarkan pada cadangan emas yang dimiliki negara itu, tapi pada reputasi AS sebagai negara adidaya.
Ilustrasi aset kripto Bitcoin, Ether, dan Altcoin/Istimewa
Ilustrasi aset kripto Bitcoin, Ether, dan Altcoin/Istimewa

Bisnis.com, JAKARTA - Ada masanya ketika mata uang kripto (cryptocurrency) menjadi primadona dalam dunia investasi. Ini dipicu oleh tingginya nilai mata uang kripto, seperti bitcoin yang per kepingnya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Namun, citra positif itu kini pudar. Pasalnya, nilai sejumlah instrumen kripto justru sedang longsor di mana-mana, dan beberapa petinggi perusahaan kripto malah terbelit kebangkrutan.

Misalnya, mantan CEO FTX Sam Bankman-Fried mendapati hartanya sirna sebesar Rp228 triliun hanya dalam semalam, dan FTX pun mengajukan pailit. Nama-nama seperti Three Arrows Capital, BlockFi, Voyager Digital, dan Celcius adalah contoh-contoh perusaha-an kripto lain yang tumbang pada 2022 (tribunnews.com, 2/12/2022).

Tak pelak, fenomena rontoknya banyak perusahaan kripto mengundang refleksi serius tentang keberadaan dan kredibilitas kripto sebagai instrumen investasi. Sekaligus, mendorong kita memetik pelajaran dari fenomena mem-prihatinkan ini.

Kata kunci dalam keamanan satu produk keuangan atau investasi pada hakikatnya adalah underlying asset, yaitu keberadaan aset fisik yang men-jadi dasar atau ‘cantelan’ bagi nilai suatu produk keuangan. Sebagai contoh, underlying asset yang umum bagi fonda-si nilai mata uang adalah emas. Hal ini kemudian berakhir ketika Presiden AS Richard Nixon memberlakukan konsep fiat money dalam rangkaian kebijakan ‘Nixon Shock’ alias rangkaian kebijakan ekonomi AS pada 1971 untuk meres-pons peningkatan inflasi.

Dalam kebijakan fiat money, nilai dolar AS tidak lagi disandarkan pada cadangan emas yang dimiliki negara itu, melainkan semata ditumpukan kepada reputasi AS sebagai negara adidaya. Pada gilirannya, konsep fiat money ini membuat nilai dolar AS kuat secara arbitrer (semena-mena), dan hanya menguntungkan kepentingan hegemoni AS. Akibatnya, dalam jangka panjang mulai timbul ketidakpercayaan terhadap mata uang konvensional, sehingga muncul ikhtiar untuk menginisiasi dan menggunakan mata uang alternatif seperti kripto.

Ketiadaan underlying asset juga yang sebenarnya menjerembabkan AS ke kri-sis finansial 2007–2008 akibat produk investasi derivatif subprime mortgage. Dalam “Toxic Paper” (Newsweek, March 2, 2009), Hernando de Soto menjelas-kan, krisis finansial global 2007–2008 yang berpusat di AS adalah buah dari surat berharga beracun (toxic paper) berupa instrumen-instrumen derivatif. Sebab, surat-surat itu hanyalah ker-tas belaka yang tidak memi-liki underlying asset berupa aset riil.

Bagi de Soto, ini menyalahi pakem bahwa instrumen finansial legal mesti mere-presentasikan nilai berbasis-kan aset riil, semisal rumah, saham, dan lain-lain.Pengamatan de Soto menggemakan pendapat Thorstein Veblen. Dalam Theory of Business Enterprise (1914), Veblen mencerca betapa biadabnya kaum kapitalis modern karena mereka kerap tidak memperdagangkan barang sama sekali, melainkan hanya “kertas-kertas berharga”. Kegiatan-kegiatan orang-orang biadab demikian akhirnya menipu konsumen dan pengusaha kecil, menimbulkan kepanikan di bursa saham, menyebabkan depresi industri, serta pengangguran.

Persis ketiadaan underlying asset ini-lah yang menjadi masalah dan fondasi lemah dalam kripto. Sebab, nilai kripto saat ini hanya berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan terhadap suatu sistem penambangan algoritmik berbiaya ting-gi—karena membutuhkan perangkat teknologi yang tidak murah yang dito-pang oleh infrastruktur ICT (teknologi komunikasi informasi). Persis seperti konsep fiat money yang mengandalkan kepercayaan dan kemudian dikecam luas.

Pada gilirannya, ketergantungan besar pada ICT ini akan problematik. Sebab, ketika infrastruktur itu tidak tersedia atau tidak memadai, nilai kripto bisa terhempas dan merugikan investor. Alhasil, jika dalam bursa finansial kita mengenal kesenjangan tajam antara firma investasi superkaya (wall stre-et) dan masyarakat awam yang hidup pas-pasan (main street), terjadilah per-tentangan antara para cryptopreneurs (pengusaha kripto) dan investor awam (common investors). Ini sudah terbukti sekarang dari kemarahan para inves-tor kripto terhadap perusahaan tempat mereka berinvestasi sesudah mendapati nilai investasi mereka amblas.

Pelajaran lain dari longsornya uang kripto saat ini adalah potensi terjeru-mus kian dalamnya instrumen investasi tersebut. Ini mengingat perekonomian global sedang dibayangi potensi muram resesi tahun depan.IMF, misalnya memang-kas proyeksi pertumbuh-an ekonomi global untuk 2023 dari 3,8% menjadi 2,7%. Tambahan lagi, IMF mewanti-wanti luasnya perlambatan pada 2023, dengan negara-negara yang menyumbang sekitar seper-tiga ekonomi global bisa mengalami kontraksi ekono-mi. Pernyataan resmi IMF sendiri berbunyi, “Hal yang terburuk mungkin saja akan datang, dan bagi banyak orang 2023 akan terasa seperti resesi.

”Secara teori ekonomi, ada adagium bahwa manakala terjadi krisis ketidakpercayaan akan instrumen inves-tasi justru meningkat (A Prasetyantoko, Ponzi Ekonomi, Penerbit Kompas, 2010, hal. 109). Itulah mengapa ladang-ladang investasi yang tadinya subur tiba-tiba gersang karena jarang ada investor yang berani menanamkan uang pada instrumen investasi yang tengah mengalami guncangan di saat krisis. Akibat berhentinya aliran dana, kejatuhan harga-harga instrumen investasi yang terguncang pun, termasuk kripto akan semakin parah.

Sebaliknya, investor akan beramai-ramai mengalihkan investasinya ke instrumen yang dianggap paling aman, yaitu uang tunai untuk konsumsi seketika, emas sebagai safe haven alias inves-tasi pasti yang nilainya lebih terjamin, dan obligasi pemerintah.Karena itu, agenda mendesak bagi komunitas investasi ke depan untuk menyelamatkan kripto sebagai instru-men investasi adalah uang kripto harus memiliki underlying asset.

Adapun aset-aset yang bisa dijadikan ‘cantelan’ kokoh secara teoretis ada-lah emas sebagai logam mulia yang memang sudah diakui luas dan/atau obligasi pemerintah di negara yang kredibel.Dengan kata lain, arsitektur uang kripto mestilah disempurnakan dalam suatu konstruksi yang menyertakan aset fisik sebagai cantelannya. Semoga bisa

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Satrio Wahono
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper